By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

Rabu, 01 Juni 2011

Liurai Dalam Sejarah Belu



Silsilah Liurai Fatuaruin (Liurai Wehali) yang memerintah Belu :
1.       Hoa Diak Malaka
2.       Dasin Don Peur
3.       Dasin Dinik Liurai
4.       Dasin Neken Liurai
5.       Dasin Bada Mataus
6.       Dasin Don Alesu Fernandes
7.       Dasin Liurai Muskita
8.       Seran Tae Boboto Rui
9.       Dasin Tei Seran
10.   Dasin Tere Atok Liurai I
11.   Dasin Tere Atok II
12.   Dasin Tey Seran Liurai
13.   Josef Seran Fatin (Nai Bot Liurai Malaka)
14.   Anton Tey Seran
15.   Louis Sanaka Tey Seran

Liurai I :
           
Dikisahkan, pada zaman dulu, liurai pertama adalah seorang wanita yang sangat cantik menawan, disanjung, diberi gelar Diak Malaka. Ia adalah Liurai feto dan kawin dengan Seran Taen Boboto Rui Makerek yang diberi gelar : ” sui Likusaien, sui wehali” (sui dalam bahasa Tetun artinya : menanduk).

Liurai II :

      Dari perkawinan Hoa Diak Malaka dengan Seran Taen Baboto Ruin Makerek ini, lahirlah dua orang anak, salah seorang anak bernama Don Peur yang menggantikan ibunya sebagai Liurai kedua. Sedangkan anaknya yang lain, seorang putri raja bernama Dona Hodak, kawin dengan raja
Loosina bernama Hoa Sina Malaka Liurai. Turunan dari perkawinan mereka hingga Liurai Liurai VII tidak diberi kehormatan untuk menjabat sebagai Liurai karena saat itu garis hukum keturunan masih diakui dari garis bapak (patriarchat)

Liurai III :

      Lalu Dasi Don Peur sebagai Liurai II menikahi anak raja Dirma bernama Dasin Masaurain. Dari perkawinan mereka lahirlah dua bersaudara yakni Dasin Dinik Liurai sebagai Liurai yang ketiga sedangkan adiknya Dasin Eno Tinik Liurai meninggal sehingga tidak punya keturunan.

Liurai IV :

      Dasin Dinik Liurai (Liurai III) kawin dengan Dasin Telek Masan Rain II, anak raja Melus Maketan. Dari perkawinan ini, lahirlah Dasin Neken Liurai sebagai Liurai IV. Dasin Neken Liurai kawin dengan dua orang istri, yakni Dasin Abulorok, anak raja Jenilu dan Dasin Lese Bauk, anak raja Bakiduk. Masa pemerintahan Liurai IV ini dikenal orang sebagai raja yang piawai dalam membagi tanah Timor.

Liurai V :

      Keempat anak hasil perkawinan Liurai IV dengan anak raja Jenilu diberi kuasa kuasai memerintah tanah Timor yang sudah dibaginya. Yakni Dasin Bada Mataus dijadikan Liurai V, tinggal di Wehali. Dasin Ura Mataus Liurai Likusaen berkuasa di Dili. Dasin Soko Mataus Liurai di Kupang Sonbay dan Dasin Neken Mataus Liurai merantau ke Larantuka.

Liurai VI :

      Sebagaimana disebutkan diatas bahwa Liurai keempat (Dasin Neken Liurai) mempunyai dua orang istri. Hasil perkawinan dengan istri anak raja Bakiduk, yakni Dasin Don Alesu Fernandes diangkat sebagai Liurai VI. Liurai ini dikenal sebagai raja yang menerima tongkat mas dan perak zaman Portugis. Juga sejarah mencatat, Liurai VI ini kawin dengan Dasin Hoa Tuka, anak raja Larantuka.

Liurai VII :

      Perkawinan Liurai VI dengan anak raja Larantuka ini melahirkan Dasin Liurai Muskita sebagai Liurai VII. Sampai disini selesailah garis hukum keturunan Liurai yang biasa diambil dari garis patrilineal, maka sejarah mencatat bahwa untuk selanjutnya Liurai diambil dari garis matrilineal hingga sekarang sesuai hukum adat warga Wesei Wehali.

Liurai VIII :

      Muskita memperistri Dasin Bano Tae Liurai dari garis keturunan matrilineal anak raja Babotin, lahirlah Seran Tae Boboto Rui Makerek II, yang diangkat sebagai Liurai VIII dan memerintah di Sasitamean. Liurai VIII ini turunan langsung dari garis ketururan raja Bobotin bernama Dasin Tere Tae

Liurai IX :

      Liurai VIII (Liurai Sasitamean) ini kawin dengan Telek Masan Rai III melahirkan Dasin Tei Seran Liurai yang kelak diangkat sebagai Liurai IX dan Nai Kmesak Maunbon.

Liurai X :

      Kelak Liurai IX ini kawin dengan Dasin Telek Bian Manlea. Dari perkawinan ini lahirlah Dasin Tere Atok Liurai yang dimahkotai sebagai Liurai X.

Liurai XI
     
      Liurai X mempunyai dua isteri. Isteri pertama namanya Dasin Luruk Tey Seran dan dari perkawinan ini lahirlah Dasin Tere Atok II yang diangkat menjadi Liurai XI.

Liurai XII :

      Sedangkan dengan isteri kedua bernama Dasi Telek Tey Seran lahirlah Dasin Tey Seran Liurai, yang diberi gelar Liurai XII, raja Fatuaruin yakni bapak dari almarhum Liurai Terakhir (Louis Sanaka Tey Seran).

Liurai XIII :

      Ketika Liurai XII ini meninggal, anaknya (Louis Sanaka Tey Seran) masih kecil. Ketika itu pemerintah mengambil inisiatif untuk mengisi kekosongan dengan memilih Josef Seran Fahik  yang dikenal sebagai Nai Bot Liurai Malaka. Josef Seran Fatin dalam percaturan politik pembentukan swapraja dipercaya untuk menjadi tampuk pimpinan Swapraja Malaka dan Belu.

Liurai IV

      Dikisahkan, Liurai XII kawin dengan Kolo Bian dari Sonaf Uimriso, turunan Ae Bian Manlea. Hasil Perkawinan ini adalah Anton Tey Seran yang sudah dinobatkan sebagai Liurai XIV tapi mendadak ke Bima, Sumbawa untuk belajar dibiayai oleh pemerintahan Hindia Belanda mengenai kesultanan. Ia meninggal dan terakhir kerangkanya dipindahkan untuk dimakamkam di Belu.
Liurai XV :

      Louis Sanaka Tey Seran, adik kandung Anton Manek Tey Seran dinobatkan menjadi Liurai XV. Ia memperisteri Theresia Bete Niis, anak raja Bea Neno / Pah Un Bea Neno dan memiliki 10 anak. Mereka adalah Gaudensia Luruk Tei Seran, Maria Hoar Tei Seran, Antonius Tei Seran, Magdalena Muti Tei Seran, Demitrius Nana Tei Seran, Natalia Adelina Bendita Tei Seran, Dominggus Arenkian Aria Neno Tei Seran, Yulianus Antonius Liurai, Flora Diana Mako Tei Seran dan Dominikus Hilarius Liurai. (Sumber : Belu, Pemimpin dan Sejarah)


GBU

Sejarah singkat nenek moyang Kabupaten Belu

Sejarah singkat nenek moyang Kabupaten Belu

Sesuai berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah di Belu, manusia Belu pertama yang mendiami wilayah Belu adalah “Suku Melus”. Orang Melus di kenal dengan sebutan “Emafatuk oan ai oan”, (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar orangnya dan bertubuh pendek. Selain para pendatang, yang menghuni Belu sebenarnya berasal dari “Sina Mutin Malaka”. Malaka sebagai tanah asal – usul pendatang di Belu yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka. Khusus untuk para pendatang baru yang mendiami daerah Belu terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
nenek moyang kabupaten belu
Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing – masing daerah berlainan. Dari makoan Fatuaruin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah ; Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Naik.
Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan.
Sedangkan dari semua pendatang di Belu itu pimpinan dipegang oleh “Maromak Oan” Liurai Nain di Belu bagianh Selatan. Bahakan menurut para peneliti asing Maromak Oan kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di belu, maromak Oan memiliki perpanjangantangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Fatuaruin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Maromak Oan sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.
Para pendatang di belu tersebut, tidak membagi daerah Belu menjadi Selatan dan Utara sebagaimana yang terjadi sekarang. Menurut para sejarahwan, pembagian Belu menjadi Belu bagian Selatan dan Utara hanyalah merupakan strategi pemerintah jajahan Belanda untuk mempermudah sistem pengontrolan terhadap masyarakatnya. Dalam keadaan pemerintahan adapt tersebut muncullah siaran dari pemerintah raja – raja dengan apa yang disebutnya “Zaman Keemasan Kerajaan”. Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Belu). Di Dawan ada kerajaan Sonbay yang berkuasa di daerah Mutis. Daerah Dawan termasuk Miamafo dan Dubay sekitar 40.000 jiwa masyarakatnya. Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk  mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Sang Maromak Oan mengirim para pembantunya ke seluruh Belu sebagai Loro dan Liurai.
Tercatat nama – nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.
Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal dengan nama As Tanara membawahi dasi sanulu yang dikenal sampai sekarang ini yaitu Lasiolat, Asumanu, Lasaka, Dafala, Manukleten, Sobau, LIdak, Tohe Manumutin, dan Aitoon. Dalam berbagai penuturan di Utara maupun di Selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal – usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.
C.         Susunan Strafikasi Masyarakat Belu

Membahas tentang struktur masyarakat tidak lain dari pada mengulas tentang tingkatan – tingkatan dalam masyarakat yang ada dalam.yang ada dalam suatu komunitas atau persekutuan tertentu. Yang tersusun dalam susunan atau lapisan – lapisan dalam masyarakat yang disebut stratifikasi sosial. Pembagian dan pembedaan masyarakat Belu dalam kelas – kelas hirarkis di bawah ini di dasarkan pada turunan/ras yang yang ada sejak penduduk para pendatang sampai dengan kejayaan zaman kerajaan.
Menurut H.J. Grijzen seperti dikutip dalam tulisan Rm. Florens Maxi Un Bria dalam “ The Way To Happiness Of Belu People”  bahwa masyarakat Belu mengenal klasifikasi masyarakatnya atas 3 (tiga) golongan, yang secara hirarkis terdiri dari :
  •   Dasi  atau golongan bangsawan yang menempati lapisan terpusat dan dari kelompok inilah terpilih Loro / Liurai / Na’I yang akan memangku jabatan kepemerintahan secara turun temurun.
  • Renu yang tidak lain adalah rakyat jelata yang merdeka
  • Ata atau klason yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan renu atau golongan dasi. Perdagangan budak belian ini sempat menjadi komoditi pada tahun 1892 (pada daerah Jenilu – Atapupu)  sampai pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda mengeluarkann “Pax Nederlandica” sehingga perdagangan budak dihapus.

Pembagian masyarakat Belu sendiri ditinjau dari segi ekonomis terdiri dari klasifikasi “orang berpunya/the haves” (Ema Mak Soin) dan kelompok “orang miskin/the haves not” (Ema Kmukit). Ukuran untuk menentukan dua macam kelas ini tergantung pada pendapatan yang ia peroleh dan cara atau pola hidupnya setiap hari. Dari sudut politik pemerintahan nasional, kita mengetahui bahwa penggolongan masyarakat Jawa atas tiga golongan / tiga kelompok  besar yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Dalam keterkaitannya dengan struktur masyarakat Belu maka kita mengenal beberapa kelompok/golongan masyarakat yang terdiri dari:
  •       Pertama adalah kelompok teratas atau kelompok raja (Nain Oan) masuk kelompok priyayi.
  • Kelompok lain adalah kelompok masyarakat bawah (Hutun Renu) atau marjinal dan orang kecil.
  •    Antara dua kelompok itu ada kelompok penengah atau disebut Fukun dato.
 Keterkaitan antara ketiga kelompok utama tersebut terwujud dalam realisasi program dan kerja nyata. Dalam hal ini, kelompok Raja berperan mengawasi pelaksanaan pembangunan dan membuat putusan pemerintahan. Kelompok Hutun Renu sebagai mediator antara kedua kelompok tersebut. Perlu dicatat di sini bahwa dalam proses pengambilan keputusan (fui mutu lian-fui mtun ibun) secara adapt dengan korban bakaran.
            Perlu ditambahkan disini bahwa dalam jajaran dan tataran kelompok penurutan raja atau kerabatan horizontal yang dinamakan “klaken soman” ada juga kelompok vertikal yang disebut “Tohu Larus Hudi Oan”. Dalam catatan sejarah lokal, menuturkan bahwa di kerajaan Wewiku – Wehali ada 4 dato yang sangat berperan dalam fungsinya sebagai mediator yaitu, Dato Leki Nahak Tamiru Usi Hawai Lerek (penguasa daerah pesisir laut) atau yang disebut Meti Ketuik. Dato Klisuk Rae dan Klisuk Lor yang menguasai daerah enclave laut (hasan). Sedangkan Dato Mota menguasai daerah pesisir kali Benenai (Mota Ninin Here Ninin). Sehingga sesekali dalam kurun waktu tertentu seorang Dato wajib membawahi upeti kepada rajanya.
(sumber : Bappeda Kab. Belu

GBU

Sejarah Singkat Kabupaten Alor

 


Menurut cerita yang beredar di masyarakat Alor, kerajaan tertua di Kabupaten Alor adalah kerajaan Abui di pedalaman pegunungan Alor dan kerajaan Munaseli di ujung timur pulau Pantar. Suatu ketika, kedua kerajaan ini terlibat dalam sebuah Perang Magic. Mereka menggunakan kekuatan-kekuatan gaib untuk saling menghancurkan. Munaseli mengirim lebah ke Abui, sebaliknya Abui mengirim angin topan dan api ke Munaseli. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Munaseli. Konon, tengkorak raja Abui yang memimpin perang tersebut saat ini masih tersimpan dalam sebuah goa di Mataru. Kerajaan berikutnya yang didirikan adalah kerajaan Pandai yang terletak dekat kerajaan Munaseli dan Kerajaan Bunga Bali yang berpusat di Alor Besar. Munaseli dan Pandai yang bertetangga, akhirnya juga terlibat dalam sebuah perang yang menyebabkan Munaseli meminta bantuan kepada raja kerajaan Majapahit, mengingat sebelumnya telah kalah perang melawan Abui.
Sekitar awal tahun 1300-an, satu detasmen tentara bantuan kerajaan Majapahit tiba di Munaseli tetapi yang mereka temukan hanyalah puing-puing kerajaan Munaseli, sedangkan penduduknya telah melarikan diri ke berbagai tempat di Alor dan sekitarnya. Para tentara Majapahit ini akhirnya banyak yang memutuskan untuk menetap di Munaseli, sehingga tidak heran jika saat ini banyak orang Munaseli yang bertampang Jawa. Peristiwa pengiriman tentara Majapahit ke Munaseli inilah yang melatarbelakangi disebutnya Galiau (Pantar) dalam buku Negarakartagama karya Mpu Prapanca yang ditulisnya pada masa jaya kejayaan Majapahit (1367). Buku yang sama juga menyebut Galiau Watang Lema atau daerah-daerah pesisir pantai kepulauan. Galiau yang terdiri dari 5 kerajaan, yaitu Kui dan Bunga Bali di Alor serta Blagar, Pandai dan Baranua di Pantar. Aliansi 5 kerajaan di pesisir pantai ini diyakini memiliki hubungan dekat antara satu dengan lainnya, bahkan raja-raja mereka mengaku memiliki leluhur yang sama.
Pendiri ke 5 kerajaan daerah pantai tersebut adalah 5 putra Mau Wolang dari Majapahit dan mereka dibesarkan di Pandai. Yang tertua di antara mereka memerintah daerah tersebut. Mereka juga memiliki hubungan dagang, bahkan hubungan darah dengan aliansi serupa yang terbentang dari Solor sampai Lembata. Jalur perdagangan yang dibangun tidak hanya di antara mereka tetapi juga sampai ke Sulawesi, bahkan ada yang menyebutkan bahwa kepulauan kecil di Australia bagian utara adalah milik jalur perdagangan ini. Mungkin karena itulah beberapa waktu lalu sejumlah pemuda dari Alor Pantar melakukan pelayaran ke pulau Pasir di Australia bagian utara. Laporan pertama orang-orang asing tentang Alor bertanggal 8–25 Januari 1522 adalah Pigafetta, seorang penulis bersama awak armada Victoria sempat berlabuh di pantai Pureman, Kecamatan Alor Barat Daya. Ketika itu mereka dalam perjalanan pulang ke Eropa setelah berlayar keliling dunia dan setelah Magelhaen, pemimpin armada Victoria mati terbunuh di Philipina. Pigafetta juga menyebut Galiau dalam buku hariannya. Observasinya yang keliru adalah penduduk pulau Alor memiliki telinga lebar yang dapat dilipat untuk dijadikan bantal sewaktu tidur. Pigafetta jelas telah salah melihat payung tradisional orang Alor yang terbuat dari anyaman daun pandan. Payung ini dipakai untuk melindungi tubuh sewaktu hujan.

GBU                                        (wikipedia)

KOmentar FACEBOOK