By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

Senin, 15 April 2013

Sejarah Perjalanan KAbupaten Manggarai Barat

Kabupaten Manggarai Barat merupakan kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Manggarai. Pada mulanya wilayah Manggarai Barat dibagi atas 14 wilayah Kedaluan yaitu Kempo, Matawae, Boleng, Nggorang, Mburak, Bajo, Welak, Wontong, Ndoso, Kolang, Pacar, Bari, Rego, dan Penggawa Bajo. 
kecamatan manggarai barat

Kedaluan atau Hamente ini membawahi sejumlah kampung yang diatur menurut garis genealogis. Beberapa wilayah bekas Kedaluan kemudian dikelompokan dalam satuan wilayah kecamatan. Ide pemekaran wilayah Manggarai Barat sudah ada sejak tahun 1950-an. Ide ini dimunculkan pertama kali oleh Bapak Lambertus Kape, tokoh Manggarai asal Kempo Kecamatan Sano Nggoang yang pernah duduk sebagai anggota Konstituante di Jakarta.

 Pada tahun 1963 aspirasi untuk memekarkan Kabupaten Manggarai dengan membentuk Kabupaten Manggarai Barat mulai diperjuangkan secara formal melalui lembaga politik partai Katolik Subkomisariat Manggarai. Pada tahun 1982 Manggarai Barat diberikan status Wilayah Kerja Pembantu Bupati Manggarai Bagian Barat dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 821.26-1355 tanggal 11 november 1982. 

 Melalui proses pengkajian yang matang dengan memperhatikan potensi dan luas wilayah serta kebutuhan untuk pendekatan pelayanan kepada masyarakat maka melalui Sidang Paripurna DPR RI tanggal 27 Januari 2003 aspirasi dan keinginan masyarakat Manggarai Barat mencapai puncaknya dengan disahkannya Undang-undang Nomor 8 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Manggarai Barat maka Kabupaten Manggarai Barat resmi terbentuk. 

 Pada tanggal 1 September 2003, Drs. Fidelis Pranda dilantik menjadi Penjabat Bupati Kabupaten Manggarai Barat yang bertugas menjalankan pemerintahan serta mempersiapkan pemilihan kepala daerah definitif . Dan selanjutnya melalui proses demokrasi dengan pemilihan kepala daerah secara langsung Drs Fidelis Pranda dan Drs. Agustinus C. Dula kemudian diangkat menjadi Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Barat yang pertama.

Dan pada tahun 2010 dilangsungkan proses pilkada yang kedua. Dari proses ini Drs. C. H. Dula dan Drs. Maximus Gasa menjadi Bupati dan wakil Bupati yang kedua. Pada awal berdirinya terbagi atas 7 kecamatan yaitu Kecamatan Komodo, Kecamatan Sano Nggoang, Kecamatan Boleng, Kecamatan Lembor, Kecamatan Welak, Kecamatan Kuwus, Kecamatan Macang Pacar dan pada tahun 2011 dimekarkan menjadi 10 kecamatan dengan tambahan wilayah pemekaran yakni Kecamatan Lembor Selatan, Kecamatan Mbeliling dan Kecamatan Ndoso.

Sekilas Kabupaten Manggarai Barat 2


peta manggarai


Kondisi Obyektif Kabupaten Manggarai Barat.

1. Letak geografis Secara geografis

Kabupaten Manggarai Barat terletak di ujung barat Pulau Flores dan berada diantara 080.14’ LS-090.00’ LS dan 1190.21’ BT-1200.20’ BT. 

2. Batas wilayah

 Utara : Laut Flores
 Selatan : Laut Sawu 
 Timut : Kabupaten Manggarai
 Barat : Selat Sape

3. Luas wilayah
     Kabupaten Manggarai Barat mempunyai luas wilayah 10.000,47 km2 dengan luas wilayah daratan 2.974,5 km2 dan luas wilayah laut 7.052,97 km2. Wilayah daratan terdiri dari daratan Pulau Flores dan beberapa gugusan pulau seperti Pulau Komodo, Rinca, Longos serta beberapa pulau kecil lainnya.

4. Topografi
    Topografi Kabupaten Manggarai Barat berbukit-bukit dengan kemiringan mencapai 450 dan terdiri dari daerah pegunungan/bukit, daerah pesisir dan dataran rendah.

5.  Iklim
     Kabupaten Manggarai Barat beriklim panas denga suhu udara berkisar di antara 170 C- 320 C. • Penduduk Penduduk Kabupaten Manggarai Barat berjumlah 216.448 jiwa yang mendiami 10 wilayah kecamatan baik di daratan bagian barat Pulau Flores maupun yang mendiami pulau-pulau kecil.

6. sudut ekonomi 
      Dari sudut ekonomi, mayoritas masyarakat Kabupaten Manggarai Barat menggantungkan hidupnya pada pertanian selain berapa potensi ekonomi seperti pariwisata dengan obyek seperti Taman Nasional Komodo, Kawasan Hutan Mbeliling, Istana Ular, dan beberapa objek wisata air terjun seperti Cunca Rame dan Cunca Wulang.

7.  Kelompok etnis
     Kabupaten Manggarai Barat terdiri atas etnis Manggarai, Bima, Bugis, Jawa, dll yang turut mewarnai dinamika pembangunan di Manggarai Barat.

8. Sosial Budaya 
       Selain kebudayaan asli Manggarai kehidupan sosial budaya Manggarai Barat juga dipengaruhi oleh budaya Jawa, Bugis, Bima, Timor, Ngada,dll. Semuanya menambah keanekaragaman budaya dan adat istiadat masyarakat Manggarai Barat

9. Sebaran agama
     Sebaran penduduk menurut agama di Kabupatenn Manggarai Barat bersifat homogen. Daerah dataran tinggi mayoritas beragama Kristen Katolik, masyarakat beragama Islam lebih banyak berdomisili di daerah pesisir. Sedangkan Penduduk yang beragama Kristen Protestan, Hindu dan Budha lebih banyak berdomisili di daerah perkotaan karena pada umumnya mereka adalah penduduk pendatang.


Maaf jika ada kesalahan dalam pstingan ini dan terima kasih sudah membaca.

GBU

Sekilas Kabupaten Manggarai Barat 1

     Dari aspek kebudayaan, Kabupaten Manggarai Barat memiliki beberapa kekayaan riil yang memerlukan sentuhan program dan pemberdayaan dalam pembangunan. Masyarakat Kabupaten Manggarai Barat dewasa ini merupakan hasil dari sebuah proses sosial yang intesif antara “orang asli ‘ Manggarai dengan pendatang.  Bahasa - Bahasa yang digunakan di Kabupaten Manggarai Barat termasuk rumpun bahasa austronesian , malayo-polinesian , central -eastern , central–malayo-polenesian, Bima-Sumba. Wilayah Kabupaten Manggarai Barat didiami oleh beberapa suku baik itu suku asli maupun pendatang yaitu Suku Manggarai, Bajo, Bima, Selayar, Komodo dan suku lain (seperti Ende, Sikka, Sumba, Timor, Jawa dan lain-lain). Suku asli adalah suku Manggarai yang banyak bermukim di pedalaman. Suku Bajo dan Bugis menurut sejarah keduanya berasal dari satu keturunan yaitu Keturunan Gowa di Sulawesi Selatan. Suku Bajo lebih dahulu menetap di Labuan Bajo.

manggarai barat

      Mata pencaharian Adat istiadat masyarakat Manggarai Barat sangat berkaitan erat dengan sistem mata pencaharian masyarakat. Oleh sebab itu sistem mata pencaharian merupakan bagian dari unsur budaya masyarakat. Sistem mata pencaharian masyarakat di Manggarai Barat pada umumnya adalah nelayan, petani dan pedagang. Di Manggarai Barat, Suku Manggarai pada umumnya menggeluti bidang pertanian, sementara Suku Bugis pada umumnya di bidang perdagangan, dan Suku Bajo serta Bima menggantungkan diri dari hasil laut, sesuai tradisi nenek moyang mereka. Masyarakat yang mendiami wilayah Manggarai Barat didaratan Pulau Flores (sebagai pulau utama) mendominasi bidang pertanian, sementara masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil lainnya tersebar di dalam dan di sekitar wilayah Taman Nasional Komodo mendominasi pekerjaan sebagai nelayan dan berdagang. Adanya perkembangan masyarakat menuju budaya perkotaan terasa di Kota Labuan Bajo, masyarakat Labuan Bajo yang dulunya dominan bekerja di perikanan laut, bergeser ke sektor jasa dan perdagangan yang mendukung kegiatan pariwisata. 

manggarai barat

      Hubungan kekerabatan Hubungan kekerabatan/kekeluargaan dipahami sebagai hubungan yang terjalin karena pertalian darah perkawinan, karena tempat tinggal yang berdekatan, dan pergaulan hidup sehari-hari. Ada beberapa pengelompokan hubungan kekerabatan/kekeluargaan menurut budaya Manggarai, yaitu asekae (keluarga patrilineal), pa’ang ngaung (keluarga tetangga), anak rona- anak wina/woenelu (keluarga kerabat istri dan keluarga kerabat penerima istri), da hae reba (kenalan terdekat).

tua-tua adata manggarai barat

        Tua-tua adat Jabatan tua-tua adat di Manggarai yang berlaku hingga sekarang adalah tua kilo/ tua panga, tua olo, tongka, tua teno. Tua kilo/tua panga menunjuk pemimpin adat dalam masyarakat yang dipilih berdasarkan musyawarah bersama. Tua Golo bertugas untuk memimpin sidang warga kampung yang menyangkut kampung. Tua Teno adalah kepala bagi tanah ulayat. Tongka berfungsi sebagai juru bicara dalam acara perkawinan, antara keluarga kerabat yakni keluarga kerabat anak rona dan keluarga kerabat anak wina (www.manggaraibaratkab.co.id).




Upacara Adat Reba bhaga Kabupaten Bajawa

      Sesudah upacara tege kaju dilanjutkan dengan reba bhaga. Bhaga adalah miniatur sa’o yang didirikan di tengah kampung. Pada zaman dahulu ada orang yang di tugaskan untuk 10 menjaga khusus untuk tinggal di bhaga.

     Disamping bhaga ada ngdhu yaitu tiang pemali berukir, tempat menambat kerbau yang akan dikorban kan untuk upacara-upacara tertentu dalam kampung, misalnya ka sa’o, kenduri dan lain-lain.

    Reba bhaga dilaksanakan didalam bhaga diawali dengan pengucapan mantra zi’a ura manu dengan ujud reba bahga. Pesta reba bhaga cuma beberapa orang saja. Urat hati dan empedu ayam harus diamati untuk mengetahui tanda-tanda atau ramalan.


Upaca lainnya dalam adat Rebha kabupaten bajawa :

Klik Adat Paki sobhi

Klik Adat Rebha

Klik Adat Tegekaju/kuju lasa 


GBU

Upacara adat Tege kaju / kuju lasa Kabupaten Bajawa

      Setelah upacara rebha dikebun, sore harinya ada upacara teg’e kaju secara harafiah tege kaju artinya masukan kayu (kayu api) kedalam sa’o (rumah adat) kayu api ini sudah dipotong dan dikeringkan kurang lebih satu bulan menjelang reba kayu-kayu itu dikumpulkan dipadha sa’o yaitu jenjang pertama sa’o, sa’o memiliki tiga jenjang lantai yaitu pertama padha,  kedua teda dan jenjang ketiga one. 

     Pelaksanaan upacara teg’e kaju harus dimulai dari rumah adat. Kayu dimasukan ke on’e sa’o dan diletakan di atas para-para (ke’e)yang berjarak kurang lebih 1,5 meter diatas tungkuh api didalam rumah adat. Kayu api tersebut disiapkan untuk dipakai selama upacara reba, Jenis kayunya harus kayu isi supaya bara api tetap ada, sebab selama perayaan reba masing-masing rumah tidak boleh meminta api dari rumah lain, dan selama perayaan reba tidak boleh ada yang ke kebun sebab panenannya bisa gagal.

     Yang dimaksud paling pertama ialah kaju lasa yaitu kayu reba yang belum kering betul. Kaju lasa ini ada 12 batang diletakan tersendiri paling bawah yaitu bagian bawa para-para. Kayu –kayu lain dimasukan kemudian, disusun menumpuk ke atas. Bila masa pesta reba telah selesai namum kayu-kayu tersebut masih ada maka kayu tersebut boleh digunakan untuk masak. Sedangkan kaju lasa tidak dibolehkan dipakai namun tetap disimpan sampai waktu perayaan reba tahun berikutnya. Posisi kayu dimasukan kedalam sa’o adalah bagian pangkal duluan . 

    Filsafatnya olo pu’u dhra olo lobo tupu tapa. Secara harafiah artinya kalau duluan pangkal lancer, kalau duluan pucuk akan tertahan ranting atau cabang. maka simbolisnya : segala urusan harus dimulai dari bawa atau dasar kalau dimulai dari atas akan tertahan atau terhalang. Teknik masukan kayu seseorang berdiri di padha sa’o mengambil kayu satu paersatu diberikan kepada seseorang lain yang berdiri di teda lalu diteruskan kepada seorang lainya yang sudah berdiri didalam sa’o dan menyusun keatas para-para. Sesudah kayu dimasukan semua dilanjutkan dengan upacara pemotonngan ayam didalam sa’o untuk mengesahkan upacara tege kaju tersebut. Sebelum ayam dipotong, salah seorang pemangku adat dari sa’o tersebut mengucapkan mantra zia ura manu untuk pengesahan upacara tege kaju selanjutnya saluruh warga sao (ana sa’o) besama-sama makan minum perjamuan tege kaju tersebut intinya adalah makan ber sama. Masalahnya bukan banyak sedikitnya makanan tetapi seperti filsafat "ka papa fara inu papa resi" yang artinya "makan bersama dari satu wadah, minum bergilir dari satu cangkir".

Upacara Adat Rebha Bajawa

      Rebha adalah salah satu upacara persiapan reba yang dilaksanakan pada pagi hari pertama sebelum kobe dheke. Upacara rebha dilaksanaan pada pagi hari di kebun atau diladang sebelum upacara persiapan berikunya yaitu tege kaju lasa. Rebha dilaksanakan untuk memohon berkat Tuhan melalui arwah leluhur agar tujuan tanaman (ngaza lima zua) tumbuh subur dan menghasilkan panen berlimpa. Tanama-tanaman tersebut adalah pare (padi), ha‟e (jagung), hae lewa (jagung solor), wete (jewawut) dan hobho (kacang-kacangan) tanaman ini di tanam didalam kebun atau ladang.

adat bajawa

      Proses upacara rebha sebagai berikut ; Beberapa orang dari masing-masing suku /warga rumah adat berangkat dari sa’o (rumah adat) menuju kebun membawa serta parang, piso,seekor ayam kecil , satu buah kelapa muda yang masi kecil (nio boko) dan nasi. Dikebun mereka langsung menuju ke sebuah tempat didalam kebun yang bernama mata tewi , mata tewi merupakan sebuah tempat yang berukuran kira-kira 2x2 m. 

     Tempat persemayan uwi , pada keempat sudut kebun itu ditanami uwi, sedangkan di tengahnya tanam tanaman yang laen, sebelum melakukan penanaman bibit uwi seorang yang lebih tua mengucapkan semacam "manra zi’a ura manu" untuk menyatakan ujud pelaksanaan upacara tersebut Syair zia ura manu :

 Zi’a ura manu dia 
 Dia kami da rebha uma
 Raba go ngaza lima zua wi lowa
Dia kami nge nuka reba
 Manu kau ura zia 
 Bhoko se wolo jali jo 
 Da lewa noze nea 
 Kiki kaba ne’e we’a
 Pedhu kau bodha wela olo

Artinya :

semoga dengan upacara pemotongan ayam untuk rebha
ini kami akan merebha kebun
agar tanaman yang di tanam bertumbuh subur
kami persembahkan darah ayam ini bagi keselamatan peryaan reba di kampong
(ayam semoga urat, empedumu menunjukan tanda baik
tanam terbaris rapih
yang tinggi dipangkas sehinggah subur
dapat menghasilkan kerbau dengan emas
semoga penyakit tersingkir jauh

       Setelah zi’a ura manu lalu ayam di potong dan di bakar dibelah untuk melihat isi perutnya, dan si pengucap mantra tadi harus melihat kondisi urat hati, empedunya.melalui pengamatan kondisi urat hati, dan empedu ayam akan tanpak petunjuk-petunjuk tertentu seperti akan terjadi kelaparan, tanaman tumbuh subur atau berhasil,dan lain-lain. 

      Setelah itu darah ayam dioleskan batu lanu dan daun-daun tanaman tadi yang dipetik dan diikat menjadi satu, kemudian salah seorang membakara ayam tadi dan yang lainya berjalan keliling kebun untuk rebha daun tanaman tadi dioleskan dengan darah ayam di celupkan kedalam buah kelapa muda setelah di lubangi bagian matanya, kemudian mereka berjalan keliling kebun memercik tanaman di seluruh kebun sambil beteriak lowa-lowa-lowa (lowa artinya bertumbuh terus) terakhir kelapa muda tadi di telingkupkan pada salah satu kayun patok teras kebun za’i/ulu kemudian mereka makan nasi serta daging ayam yang dibakar. 

       sebelum dimakan mereka harus memberikan sesajean kuwi bagi leluhur berupa nasi dan hati ayam. pada waktu kuwi /memberikan sesajian harus diucapkan mantra berikut :

 Dia ine ema ebu kajo  
 Kami da puju kuwi
 Ka papa fara inu papa pinu 
 Kami nenga raba go buku reba
 Dhegha go buku ngata sili anan wunga 

artinya :

ini para leluhur nenek moyang
kami memberimu sesajen
makanlah bersama ,minumlah bergilir
kami akan merayakan adat budaya reba
mengenang adat budaya sili ana wunga


Terdapat juga upacara adat lainnya yang merupakan bagian dari upacara Rebha di bajawa diantaranya :

Upacara Adat Paki Sobhi

Upacara adat Tegel kaju/Kaju Lasa


Maaf jika ada kesalahan dalam postingan dan terima kasih sudah membaca

GBU

Upacara Adat Paki Sobhi

       Upacara ini merupakan Salah satu perayaan awal Upacara Adat Reba Paki sobhi pembuatan sisir dari bambu yang digunakan sebagai kalender adat yang dilakukan pada hari pertama, awal perayaan reba sebelum kobe dheke. 


rebha bajawa
   Sobhi dibuat dari bantang bambu aur sepanjang 20 cm di buat bentuk jari-jari atau urat sisir sebanyak 13 jari atau urat. Dengan hitungan tiap bulan baru muncul di bagian barat, satiap jari atau urat dipatahkan begitu seterusnya. Ketika tinggal satu jari atau sisir ke 13 itu berarti waktu untuk melaksanan upacara reba. Sebelum acara reba ada satu tahapan adat namanya soka soka uwi artinya seluruh pujaan tentang tanaman uwi-uwi hawut pertandanya reba. Syair soka uwi sebagai berikut:

 O uwi e….. 
 O uwi e….. 
 Ulu mena kutu ko’e koe dhano ana ko’e 
 Ulu zele hui moki moki dhano bhai moli
 O uwi e….. 
 O uwi e ....

artinya : 
(ketimur babi landak gali meski di gali tetap masih ada)
(kebarat babi hutan sungkur, meski sungkur juga takaan habis ) 

Makna bebas: "uwi" adalah tanaman simbol sumber kehidupan yang tak kan bisa punah meski dikonsumsi oleh hewan dan manusia

Setelah tahapan Upacara Adat Paki Sobhi dlakukan maka Upacara adat "Rebha dan Tege kaju" dapat dilaksankan.

Untuk Upacara Adat Rebha silahkan klik DISINI

dan

Untuk Upacara Adat Tege Kaju/Kuju Lasa silahkan klik DISINI



Maaf jika ada kesalahan dalam postingan ini

GBU

About Me Theo Lering

theo maumere



Sturmius Theofanus Lering adalah nama Lengkap saya.
Berasal dari salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Pulau Flores.

Kabupaten Sikka atau biasa dikenal "Maumere  Manise" adalah Kota kelahiran saya.
Mulai belajar Blogging Tahun 2008, hanya
memanfaatkan waktu kosong saat masa kuliah.

" Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Belajar"
"Percaya Pada Kemempuan Diri Sendiri" 

Jumat, 12 April 2013

Tenun Ikat dan Pakaian Adat Masyarakat Bajawa

Tenun ikat

Kegiatan tenun menenun nampaknya merupakan cirri khas dihampir setiap etnis masyarakat Nusa Tenggara Timur,termasuk masyarakat Bajawa. Kegiatan tenun dinamakan “Mane tenu/Seda tenu” yang dilakukan khusus oleh para wanita (kaum Ibu dan wanita muda/gadis).

tenun ikat

Seni tenunan ikat pada masyarakat Bajawa digolongkan sederhana dan belum berkembang secara baik dengan berbagai motif seperti kuda dan kaki ayam.

Kuda: sebagai kendaraan yang di gunakan setiap hari,
Kaki ayam:sebagai binatang sakti naga manu

Semua ini merupakan pengaruh kebudayaan Hinduisme.Seluruh tenunan dari Bajawa,memberikan kesan suram,tenang,sehingga warnanya gelap.

Tenunan untuk kaum wanita:
1. Hoba ragi mite : sarung berwarna hitam diselingi beberapa garis berwarna biru.
2. Hoba ragi woi sa wisa : sarung seluruh berwarna hitam diselingi warna merah.
3. Ragi woi toto pata : berwarna hitam dan di beri hiasan tertentu.
4. Lawo (sarung) butu
5. Lawo keto
6. Lawo wa‟i manu
7. Lawo biri
8. Lawo pisa

pakaian adat bajawa


Tenunan untuk kaum pria:
1. Boku : Mahkota bagi setiap laki-laki dewasa.
2. Lu‟e/sapu gajah : pakian laki-laki yang bernilai tinggi.
3. Lu‟e/sapu jara kedhi
4. Lu‟e kebo : berbentuk selendang berukuran kecil/sedang.
5. Sapu piri.

      Proses menghasilkan tenunan melangkahi satu rangkaian pekerjaan panjang dan memakan waktu lama. Menenun dimulai dari pengeluaran kapas tua yang setelah dijemur dan dipisahkan bijinya. Menenun di mulai dari mengikat rentangan benang di antara dua potongan bamboo,kemudian untuk motif,gambar bentuk tertentu diikat oleh kaum ibu dengan syarat-syarat tertentu. Hasil ikatan pada benang di celupkan dalam pewarna hitam,biru, merah tua dan dijemur sampai kering, sesudah pengerigan,direntangkan pada alat-alat tenun.


MOhon maaf jika ada kekeliruan dalam postingan. Terima Kasih sudah Membaca.
GBU

Asal Usul Pulau Flores

pulau flores

       Nama Flores mulanya berasal dari bahasa portugis “Cabo de Flores” yang berarti “Tanjung Bunga”. Nama ini semula diberikan oleh S.M.Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah lama hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kakayaan yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat studi yang mendalam Orinbao tahun 1969 mengungkapkan bahwa nama asli pulau Flores adalah Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular.

     Dari sudut Antropologis, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores. Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis menempati nilai tertantu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow,1989;Taum,1997b)

     Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia. Suku bangsa Flores dianggap sebagai percampuran etnis antara Melayu, Melenisia, dan Portugis. Dikarenakan lokasi berdekatan dengan Timor, yang pernah menjadi koloni portugis maka interaksi dengan kebudayaan portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.


Maaf jika ada kesalahan dalam postingan ini. Terima Kasih.
GBU

Nilai Moral ADat Istiadat Kabupaten Ngada Bajawa

Kabupaten Ngada memiliki beberapa acara adat tradisional dan tersimpan nilai-nilai moral, berikut ini  acara adat yang ada di dikabupaten Ngada :

moral adat bajawa


1. La‟a Sala

Suatu perkawinan yang dilakukan pasangan yang masih mempunyai hubungan darah.
misalnya: anak menikah dengan ayahnya atau saudara laki-laki dengan saudari perempuannya. Termasuk pelanggaran moral.

2. Reba

Pesta adat tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Bajawa dalam setahun sekali untuk mensyukuri hasil panen

3. Bere Tere

Suatu acara adat,dimana seseorang laki-laki bersama keluarganya masuk pertama kali kerumah perempuan atau perkenalan

4. Ka Sa‟o

Upacara yang dilakukan untuk masuk rumah adat yang baru/rumah baru.

5. Idi Ngawu

Pihak laki-laki membawa belis pada pihak perempuan sebelum menikah.

6. Golo

Kematian yang tidak wajar,seperti dibunuh,ditabrak dll. Kematian seperti ini jenazahnya tidak boleh di simpan di dalam rumah harus berada di luar rumah.

7. Sagi

Tinju adat yang dilakukan setahun sekali khususnya di kecamatan so‟a.

8. Kiki Ngi‟i

Simbol pemotongan gigi yang dilakukan hanya pada perempuan yang sudah dewasa.

Kamis, 11 April 2013

Filosofi ADAT Kabupaten Ngada Bajawa

Filosofi ADAT Kabupaten Ngada Bajawa


1. Filosofi Ngadhu dan bhaga.


Dalam filosofi masyarakat Bajawa menyebutkan:

 "Mula ngadu tau tubo lizu,kabu wi rawe nitu, lobo wi soi dewa" 
 "mendirikan ngadu menjadi tiang penyangga langit dan akar mencengkram kuat kedalam bumi serta ujungnya menjulang mencapai Allah"

 Begitulah kewajiban setiap woe di Ngada (Bajawa), menegakan simbol kehadiran leluhur lelakinya yang demikian eratnya dibumi mesra bersama cucunya, walau hanya kenangan didalam setiap langkah kehidupan anak cucu turunannya, sekaligus sebagai perantara menemui sang ilahi. Bhaga dalam monumen, pengganti rupa dari leluhur pokok perempuan dari setiap woe di Ngada. Dengan demikian , ngadhu dan bhaga adalah monument pengganti rupa dari suami istri sebagaimana diungkapkan dalam bahasa budaya Ngada “Ngadhu he‟e bhaga wi radakisa nata” yang berarti ngadhu dan bhaga menaungi halaman kampung.

2. Filosofi kekudusan-kesucian para leluhur (Go Milo/Go zio milo).

      Pada hari kelahiran seorang anak,suatu tradisi si ibu dan si anak diperciki dengan air kelapa merah seraya menyebutkan ”dia wi zio milo rasi higa”, artinya "keadaan yang suci,kekudusan". Mereka dimandikan supaya menjadi bersih dan suci adanya.Acara ini diperintahkan dan diteguhkan dengan ajaran ”pui loka oja pe‟i tangi lewa dewawi dhoro dhega”, artinya tempat suci sebagai simbol hati nurani manusia yang berkenaan kepada sang ilahi atau leluhur. Hanya orang-orang tertentu yang boleh mengantarkan sembahan atau sesajian ketempat itu. Bila dikaitkan dengan keyakinan kristiani loka oja itu tidak saja tempat alamiah,tetapi juga simbol hati nurani manusia yang berkenaan pada Allah, agar menjadi tempat yang layak bagi Allah. Kewajiban menjaga kebersihan diri sudah diterapkan sejak dini, sejak usia memasuki kehidupan bermasyarakat terutama menjelang usia perkawinan. Kesucian, bersih diri, keperawanan hidup itu sudah diawasi dan dijaga sampai saat menjelang perkawinan.karena itu,perkawinan sudah dianggap sebagai suatu panggilan hidup. 

3. Filosofi wi pegi kage suli ngi’i

      Adalah ungkapan yang menunjukan tujuan dan hidup perkawinan trdisi itu, yakni keturunan,anak pengganti atau pelanjut peran orang tua. 

Maka kelahiran seorang diibaratkan seperti menanam atau menggantikan gigi,memasang tananam kembali gigi yang telah tak tumbuh lagi,dalam arti patah tumbuh hilang berganti,ada generasi penerusnya.

Perkawinan tradisi Ngada (Bajawa) bertujuan untuk saling mmembahagiakan antara suami dan istri dan memperoleh keturunan,anak patut dibanggakan dikenal dengan ”wi yie sama jora ngasa,wi kako sama manu jago”, artinya meringik seperti kuda jantan dan berkokok seperti ayam jantan kebanggaan yang berbicara penuh wibawa.
Asas dan dasar perkawinana tradisi diatas menjadi asas dan dasar hidup perkawinan orang Ngada (Bajawa) serta diterapkan melalui ajaran pokoknya, yakni “Sui Uwi”, kemudian itu menyangkut pula tata tertib hidup, tingkah laku serta pengembangan kehidupan sosial ekonomi dan gaya kepimimpinan tradisi Ngada (Bajawa).

GBU

Sistem Sosial Masyarakat Bajawa

Sistem Sosial Masyarakat Bajawa       

     Arti keluarga dalam masyarakat Bajawa umumnya selain terdekat dalam bentuk keluarga inti “Sa‟o”(rumah), maka keluarga yang lebih luas ialah se pendukung satu simbol pemersatu (Satu peo,Satu ngadhu,Satu bhaga). Ikatan nama membawa hak-hak dan kewajiban tertentu,sebagai contoh sebagai anggota kekerabatan dari kesatuan adat istiadat harus taat pada kepala suku terutama atas tanah. Atas kenyataan ini maka masyarakat pendukung suku mempunyai sebuah rumah pokok (adat) dengan seorang yang mengepalai bagian pangkal “Ngadhu ulu sa’o saka pu’u”.

      Semua anggota keluarga diharuskan taat juga pada kepala keluarga dengan satu prinsip yang disebut “Ulu sa’o lie ne’e teda toko sipolali” dan klen besar dari rumah-rumah klen inti itu membentuk klen kecil atau “Woe” misalnya Woe ngadhu. Secara tradisional rumah adat Bajawa sejak dulu ditandai dengan “Weti” ukiran ragam motif. Ukiran-ukiran di buat dalam sebilah papan dan diletakan pada dasar dinding panggung. Bentuk ukiran sangat bervariasi dari yang paling sederhana sampai yang bertaraf atas misalnya “sa’o, sa’o keka, sa’o lipi wisu,sa‟o dawu ngongo”. Rumah-rumah itu bergabung dalam pola perkampungan yang letaknya dibukit-bukit keliling kampung di pagari benteng batu seperti di baghi,watu api. 

Sistem/pelapisan sosial di sebut “ata/riwu ga’e’’ yang memiliki hak-hak khusus dalam persekutuan adat,mengambil bagian pokok dalam upacara adat, seperti urusan konsumsi, kebersihan lingkungan pesta,akomodasi dan perlengkapan. Lapisan menengah disebut„‟gae kisa„‟ yang menjadi penengah/jembatan antara lapisan atas dan terbawah. lapisan terbawah adalah “ho’o”,yaitu orang-orang kecil atau budak.

       Para istri setiap lapisan terutama pelapisan atas dan menengah disebut „’inegae/finegae„‟ dengan tugas utama menjadi kepala rumah yang memutuskan segala sesuatu di rumah mulai pemasukan dan pengeluaran. Disamping struktur-struktur tersebut, maka di kenal pula 

“Mori lengi” atau “Mori nua” (mereka di hormati karena mereka adalah suku atau orang tertua yang mendirikan kampung induk), “Mori wesu tana” (tuan tanah), ”mori wesu sudu” (menetapkan saat diadakan tinju),”mori sobhi” (pemegang kalender adat), “mori sao saka puu” (kepala rumah adat).

      Disamping penggolongan masyarakat berdasarkan pelapisan, maka masyarakat ngada (Bajawa) juga mengenal bebrapa organisasi sosial yang berfungsi gotong royong, sebagai contoh perkumpulan “kee kaka” (kerja sama menyumbangkan nasi yang empunya hajat). Organisasi sosial tersebut dibentuk berdasarkan pengelompokan fungsi dalam bidang pertanian (rau zo) untuk kerja bergilir, kelompok menyumbangkan tenaga, materil “suu papa suru”atau “sa’a papa laka”.

GBU

Letak Geografis Dan Mata Pencaharian Masyarakat Ngada

Letak Geografis

       Kabupaten Ngada (Bajawa) adalah salah satu dari 15 kabupaten di propinsi NTT,yang terletak di bagian tengah pulau Flores,secara geografis kabupaten Ngada terletak pada koordinat 120o, 45o dan 8o – 9o LS. 

peta administrasi bajawa
Beriklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan (Oktober-April) dan musim panas (Mei-September). Rata-rata curah dalam musim hujan 122 mm - 152 mm. Rangkaian pegunungan dan perbukitan merupakan kekhasan topografi kab.Ngada (Bajawa).
Gunung-gunung yang terkenal adalah Ebulobo (2.149 m), Inelika (1.631 m),Inerie (2.245 m), Lobobutu (1.800 m). Kabupaten Ngada memiliki Flora dan Fauna yang bervariasi sebagian besar sebagai petani,panorama yang indah,adat istiadat yang unik merupakan obyek wisata yang dapat dinikmati.

Mata Pencaharian

Ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa masing-masing kesatuan adat istiadat di Bajawa (Ngada) mempunyai pranata ekonomi yang berbeda satu dengan yang lainnya antara lain:

            1. Masyarakat di Kecamatan So‟a merupakan pendukung kebudayaan parawitu (kebudayaan berburu).
       2.Masyarakat dibajawa khususnya Naru,Watujaji,Mangulewa,Aimere,Bou-bou, Boripo,Nua lima zua,Langa, merupakan pendukung kebudayaan Reba (kebudayaan tahun baru dan panen).
            3. Pendukung kebudayaan bertani dalam arti luas ialah pendukung Ngadhu/Peo, yang terjadi pada sebagian adat Bajawa (Ngada) dan Kecamatan Riung.

petani ngada

Secara tradisional pola bercocok tanam sejak dahulu berkebudayaan kea kala (tebas bakar),yang di tandai dengan menebas hutan dengan pohon-pohon besar yang rindang dan tinggi.
Pekerjaan lebih mudah karena rumput yang tumbuh dibawahnya lembab dan mudah dibersikan. Dalam mencari lahan yang lebih subur,masyarakat Bajawa mengenal ungkapan “gae semu nu oe lina”. Rangkaian upacara pertanian di tandai dengan beberapa situs. Secara tradisional memilih tpemat yang cocok untuk berladang,bersawah yang memiliki serangkaian acara dengan
mengorbankan darah hewan. Hal ini karena membuka hutan baru,menebang pohon-pohon perlu mendapat ijin dari penguasa hutan.
Ritus upacara pertanian di dahului oleh satu acara memohon datangnya hujan yaitu „„Enga ae uza”, kemudian di acara “Ghoro nio” ( tarik kelapa ) dan “Kela nio” (belah kelapa) untuk memberi makan bumi, membuat dingin tanah, disusul dengan acara “Bu siu” (mengikuti suara burung), upacara ini bertujuan untuk membutakan mata burung supaya tidak melihat biji-bijian yang di tanam.
Semua pekerjaan pertanian dapat dilakukan brgotong-royong,waktu bekerja kebun baik sebelum sampai dengan sesudah menanam,rangkaian pekerjaan dilakukan dengan gotong-royong mengenal istilah “kabho tawo ne’e sozo wozo” (kerja sama dalam penggarapan tani). Bentuk gotong-royong lainnya seperti:

1.  Rau zo,Leza kaba:
Seluruh rakyat dapat diijinkan menanam penanaman pertama dan pemetikkan hasil panen untuk padi dan jagung secara simbolis tetap dilakukan oleh wanita karena mereka jugalah yang menentukan bibit terbaik dari padi dan jagung.

2. Moni uma/Doko uma/Anakola:
Acara perayaan ladang sesudah panen,hasil diikat dalam simpul-simpul dan di masukan dalam lumbung.

Sejarah Pemekaran Wilayah Pulau Flores

Sejarah Singkat

Tahun 1950
Pada masa pemerintahan Negara Indonesia Timur, pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba serta Timor dan kepulauannya telah merupakan "daerah" (menurut pengertian dalam UUDS 1950), yaitu Daerah Bali, Daerah Lombok, Daerah Sumbawa, Daerah Flores, Daerah Sumba dan Daerah Timor dan kepulauannya. Kemudian dibentuk Propinsi Administratip Sunda Kecil yang meliputi Daerah-Daerah tersebut (PP 21/1950). Propinsi Sunda Kecil terdiri dari Sunda Kecil Barat (meliputi ex keresidenan Bali dan Lombok) dan Sunda Kecil Timur (meliputi wilayah ex Keresidenan Timor dan pulau-pulau sekitarnya).

Tahun 1954
Nama "Sunda Kecil" diubah menjadi Nusa Tenggara (UU Drt 9/1954) sehingga 'Sunda Kecil Barat' menjadi "Nusa Tenggara Barat" dan 'Sunda Kecil Timur' menjadi "Nusa Tenggara Timur". Di dalam lingkungan Propinsi Administratip Nusa Tenggara, berbagai Daerah tersebut berjalan sebagai Daerah-daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan peraturan yang berlaku baginya ("Daerah-Statuut" jo. UU NIT 44/1950).

Tahun 1957
Dengan berlakunya UU 1/1957 mulai dilakukan upaya untuk membentuk daerah-daerah otonom sesuai dengan amanat UUDS 1950. Upaya ini diawali oleh Pemerintah dengan membentuk Panitia Pembagian Daerah (Keppres 202/1956) yang melaporkan hasil peninjauannya mengenai daerah Nusa Tenggara. Ini diikuti pula dengan kunjungan langsung oleh Menteri Dalam Negeri ke daerah tersebut untuk mendengar secara langsung aspirasi rakyat di Nusa Tenggara.

Tahun 1958
Berdasarkan laporan dari Panitia dan Menteri tersebut kemudian keluar UU 64/1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Pembentukan daerah-daerah tingkat I ini dilakukan dengan memperhatikan otonomi yang secara historis sudah ada di "daerah-daerah" di Nusa Tenggara.

Daerah tingkat I yang dibentuk adalah:
1. Daerah tingkat I Bali meliputi wilayah "Daerah Bali".
2. Daerah tingkat I Nusa Tenggara Barat meliputi wilayah:
             a. "Daerah Lombok"
             b. "Daerah Sumbawa"
3. Daerah tingkat I Nusa Tenggara Timur meliputi wilayah:
             a. "Daerah Flores"
             b. "Daerah Sumba"
             c. "Daerah Timor" dan kepulauannya;

       Selanjutnya pada tahun 1958 itu juga dibentuk daerah-daerah tingkat II yang merupakan bagian dari daerah-daerah tingkat I tersebut (UU 69/1958). "Daerah-daerah" tersebut di atas dibubarkan dan diubah statusnya menjadi Daerah tingkat II. "Daerah-daerah" itu sebelumnya merupakan daerah-daerah swapraja yang saat itu termasuk di dalam wilayah "Daerah-daerah" tersebut.
"Daerah Flores" yang dulu dibentuk dengan Peraturan Pembentukan Negara Indonesia Timur (Stb 1945-143) terdiri dari:
        1. Wilayah Daerah Swapraja Manggarai.
        2. Wilayah Ngada, meliputi Daerah Swapraja: Ngada, Nagekeo, dan Riung.
        3. Wilayah Daerah Swapraja Sikka.
        4. Wilayah Ende, meliputi Daerah Swapraja: Ende dan Lio.
        5. Wilayah Flores Timur, meliputi Daerah Swapraja: Larantuka dan Adonara.

    Dengan UU 69/1958 berbagai wilayah daerah swapraja di pulau Flores ini diubah statusnya menjadi daerah tingkat II (kabupaten) dalam wilayah daerah tingkat I (propinsi) Nusa Tenggara Timur sebagai berikut:
Daerah Tk II Pusat
          1. Manggarai
          2. Ngada
          3. Sikka
          4. Ende
          5. Flores Timur Ruteng
          6. Bajawa
          7. Maumere
          8. Ende
          9. Larantuka


Tahun 1992
Karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dan volume kegiatan pemerintahan dan pembangunan di Daerah tingkat II di Nusa Tenggara Timur, dilakukan pemekaran wilayah berupa penambahan kecamatan baru (PP 29/1992). Untuk Kabupaten Ngada, dilakukan pemekaran terhadap Kecamatan Bajawa (dipecah menjadi dua), yaitu dengan membentuk 

Kecamatan Ngada Bawah, yang wilayahnya meliputi:
1. Kelurahan Bajawa
2. Kelurahan Jawameze
3. Kelurahan Kisanata
4. Kelurahan Tanalodu
5. Kelurahan Trikora
6. Kelurahan Ngedukelu
7. Kelurahan Lebijaga
8. Kelurahan Faobata
9. Kelurahan Susu

Wilayah-wilayah ini semula merupakan bagian dari wilayah kecamatan Bajawa. Pusat pemerintahan kecamatan Ngada Bawa berada di Kelurahan Bajawa.

Tahun 1998
Mengingat keterbatasan geografis kota Bajawa, pemerintah memutuskan untuk memindahkan ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Ngada dari kota Bajawa (kecamatan Ngadabawa) ke Mbay (kecamatan Aesesa) (lihat: PP 65/1998). Namun karena beberapa faktor teknis, pemindahan ini belum dapat berjalan sepenuhnya sesuai yang direncanakan, sehingga ibukota Kabupaten Ngada masih de facto tetap berada di kota Bajawa.

Tahun 2006
Proses pemindahan ibukota Kabupaten Ngada yang berkedudukan di Mbay belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan dana dan, selain itu, karena ada rencana pemekaran Kabupaten Ngada yaitu pembentukan Kabupaten Nagekeo, maka dengan PP 35/2006 ibukota Kabupaten Ngada secara yuridis dikembalikan lagi ke kota Bajawa.

Tahun 2007
Sebagai akibat dari pemekaran Kabupaten Ngada dengan pembentukan kabupaten baru, yaitu Kabupaten Nagekeo (UU 2/2007), maka wilayah Kabupaten Ngada otomatis dikurangi wilayah Kabupaten Nagekeo (kecamatan Aesesa, Nangaroro, Boawae, Mauponggo, Wolowae, Keo Tengah dan Aesesa Selatan).

GBU

Kamis, 04 April 2013

Adat Perkawinan di sikka

    Urusan perkawinan antara pria dan wanita merupakan pertalian yang tidak dapat dilepaskan. Hubungan yang menyatu itu terlukis dalam ungkapan  

"Ea Daa Ribang,Nopok, Tinu daa koli tokar"

"Pertalian kekrabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus menerus 
dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun temurun"

Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dlam bahasa hukum adat yang disebut Naruk dua - moang dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya.
Unkapannya antara lain :
"Dua naha nora ling, nora weling
Loning dua utang ling labu weling
Dadi ata lai naha letto -wotter"
Artinya :
"Setiap wanita mempunayi nilai, punyai harga, 
sedangkan sarung dan bajunya juga mempunyai nilai dan harga, 
sehingga setiap lelaki harus membayar."

"Ine io me tondo
Ame io paga saga
Ine io kando naggo
Ame io pake pawe"
Artinya :
"Ibulah yang memelihara dan membesarkannya
Ayah yang menjaga dan mendewasakannya
Dan ibu pula yang memberikannya perhiasan
Ayah memberikannya sandang."

perkawinan adat maumere
      Ungkapan ini memberi keyakinan bahwa martabat wanita sangat dihargai, oleh karena itu maka pihak klen penerima wanita Ata lai harus membayar sejumlah belis kepada klen pemberi wanita ata dua sesudah itu baru dinyatakan perkawinan seluruh prosesnya syah. Di Sikka /Krowe umumnya bentuk perkawinan adalah patrilinial, sedangkan yang matrilinial hanya terjadi di wilayah suku Tanah Ai di kecamatan Talibura.

Tahap-tahap perkawinan dapat dilakukan seraya memperhatikan incest dan perkawinan yang tidak dilarang itu maka ditempulah beberapa tahapan:

(1) Masa pertunangan, semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari pihak wanita maka selalu disebut dengan ungkapan waang tota jarang atau rumput cari kuda atau tea winet (menjual anak/saudari)
Seorang gadis dibelis dalam 6 bagian: Kila, belis cicin kawin; Djarang sakang, (pemberian kuda); wua taa wa gete, bagian belis yang paling besar dan mahal; inat rakong, belis lelah untuk mama; bala lubung, untuk nenek; ngororemang (mereka yang menyiapkan pesta).

(2) Perkawinan, sebelum abad 16 di desa Sikka/Lela perkawinan biasanya hanya diresmikan di Balai oleh raja atau pun kadang-kadang di rumah wanita, setelah semuanya sudah siap maka acara perkawinan ditandai dengan mendengar kata-kata pelantikan dari raja, wawi api - ara pranggang, kata-kata yang diucapkan adalah:

Ena tei au wotik weli miu, hari ini ku beri kamu makan
wawi api ara pranggang, daging rebus dan nasi masak
miu ruang dadi baa nora lai, jadikanlah kamu istri dan suami 

lihang baa nora lading, dan terikatan seluruh keluarga
gae weu (eung) miu ara, makanlah kamu nasi ini
pranggang, agar menjadikan istri dan
dadi baa wai nora lali, suami minulah saus daging
minu eung wawi api, ini agar eratlah
genang lihang nora ladang, seluruh keluarga.

Ucapan itu diiringi penyuapan daging dan sesuap nasi oleh tuan tanah/raja kepada kedua mempelai .


Pada waktu masuk agama Katolik, maka ungkapan-ungkpan di atas tetap dipakai namun proses penikahan sesuai dengan aturan agama Katolik dan diberkati oleh Pastor.

Ada beberapa tahap dari acara perkawinan secara adat Sikka/Krowe:

(1) Kela narang, pendaftaran nama calon pengantin di kantor Paroki yang dihantar oleh orang tua masing-masing bersama dengan keluarga

(2) A Wija/A Pleba, keluarga ata lai melaukan kegiatan mengumpulkan mas kawin secara bersama-sama dengan keluarga

(3) Dipihak ata dua terjadi pengumpulan bahan-bahan pesta untuk membuat sejenis kue tradisional yaitu bolo pagar dan mendirikan tenda pesta.

(4) Sebelum ke gereja keluarga berkumpul di rumah mempalai wanita. Keluarga penerima wanita atau ata lai bertugas menjaga kamar pengatin.

(5) Tung /tama ola uneng, acara masuk kamar pengantin jam 21.00-22.00 malam diiringi kedua ipar masing-masing. Pengatin pria/wanita di hantar ke kamar oleh Age gete dengan nasehat kalau sudah ada di kamar bicara perlahan-lahan

(6) Weha bunga sekitar jam 05.00 pagi para pengawal kamar pengantin, ae gete dari Keluarga ata lai menaburkan bunga pada kamar pengantin sebagai lambang harum semerbak bagi kedua pengantin.

Adat Meminang Sikka-Krowe

      Perkawinan bisa dilihat sebagai sesuatu yang mutlak dan penting bagi kehidupan. Karena itu orang Sikka sendiri punya keyakinan bahwa perkawinan bersifat tak terceraikan. Hal ini juga terjadi dalam adat-istiadat setiap daerah. kali ini kita akan membahas tentang perkawinan di kabupaten sikka, kota maumere.

Lemer watu miu ruang, wawak papang miu ruang,
naha mate ko belung, naha bleut ko boar”. 

Itu merupakan kata-kata adat dalam sebuah perkawinan kabupaten sikka.Yang Artinya:

"susah senang sama--sama, mati dulu baru dilepas,
 tapi bukan mati saja melainkan sampai hancur". 

     Perkawinan dipandang sebagai persatuan antara laki-laki dan perempuan memiliki tujuan yang sangat mulia, yakni melestarikan kehidupan manusia melalui keturunan atau kelahiran anak.
Berikut ini adalah tahapan-tahapan dalam mewujudkan dua anak manusia dalam sebuah perkawinan yang sakral dalam adat budaya Sikka-Krowe.

Tahapan Persiapan Perkawinan dalam adat Sikka-Krowe meliputi Persiapan Pembelisan,Pemberian Pembeliasan,Hari Peresmian Perkawinan.

     Apa itu Etnis Sikka Krowe? Sikka-Krowe adalah sebutan khas untuk sebuah suku yang terdapat dalam wilayah Kabupaten Sikka.Sikka adalah nama yang menunjukan sebuah kampung tradisional di pantai selatan Kabupaten Sikka yang di kenal dengan Sikka Natar (Kampung Sikka), Krowe adalah orang pedalaman yang tinggal mulai dari Desa Nele di Kabupaten Sikka menuju arah Timur sampai Tanah Ai (wilayah kecamatan yang ada di timur Kabupaten Sikka,Flores).

     Tahap pertama dalam persiapan perkawinan adalah "pano ahu". Pano ahu berarti merintis jalan. Di sini tanta/tente (na'a/a'a dalam bahasa Sikka) memegang peran kunci untuk mencari informasi lebih jauh tentang si gadis. Secara sengaja atapun tidak sengaja tanta akan bertandang ke rumah gadis yang sudah diketahuinya. Dalam ungkapan¬ungkapan tidak resmi tanta akan menyampaikan bahwa seorang lelaki menaksir anak gadis dalam keluarga yang dikunjungi. Jika pano ahu ini berhasil maka proses pertunanganan dapat dilanjutkan. Perlu diketahui bahwa perempuan yang bisa dilamar adalah perempuan yang sudah melewati upacara dong werung, yakni upacara pemakaian selempang khusus dan legeng alang yaitu rambut di ikat berputar di atas kepala dan memakai heging atau tusuk konde adat.

gelang gading
     Tujuan upacara ini adalah memperkenalkan bahwa gadis ini sudah dewasa dan siap menjadi calon istri. Selempang yang dikenakan pada gadis itu umumnya warna-warni. Selain itu diberikan juga gelang perak yang bentuknya seperti ular (gelang ular) pada pergelangan tangan. Karena itu seorang gadis Sikka yang belum menikah tidak diperbolehkan (atau akan merasa malu kalau) memakai gelang gading sebab gelang gading hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah menikah.


     Tahap selanjutnya adalah "tung urut linong" , yaitu upacara pemberian sisir dan cermin termasuk juga buah-buahan serta kain kepada pihak perempuan. Pemberian ini merupakan ungkapan bahwa gadis tersebut sudah dipinang oleh seorang lelaki. Jika pemberian pihak laki-laki diterima maka pihak perempuan juga akan memberi " lipa " (sarung laki-laki hasil tenunan sendiri) dan lensu nujing (sapu tangan jahitan sendiri dengan sulaman khusus di bagian pinggirnya).


     Pada tahap awal pertunanganan ini ikatan perkawinan belum kuat. Secara adat kedua calon belum terikat secara ketat. Dapat saja terjadi bahwa salah sate plink mau mernbatatkan rencana pertunganan yang mulai terbentuk itu. Pihak yang mengingkari pertunanganan akan dituntut secara adat. Prinsip yang biasa dipakai dalam tuntutan adat seperti ini berbunyi: " bahar lopa tena dada, bala lopa tena repang".
Artinya, orang punya emas tidak boleh diuji keasliannya, prang punya gading tidak boleh diukur-ukur/ dipermaikan.

belis sikka
    
    Kalau seandainya laki-laki dituntut karena ia mengingkari pertunanganan itu maka ia dituntut untuk mermberikan sejumlah bayaran berupa uang dan kuda kepada pihak perempuan. Sebaliknya jika pihak perempuan yang memutuskan hubungan pertunanganan maka sebagai sanksi adat pihak laki-laki akan diberikan baju dan lipa oleh pihak perempuan. Pemberian secam ini disebut hok waeng atau pemberian penghapus rasa malu.




   Tahap selanjutnya adalah Persiapan Pembelisan, Pemberian Pembelisan dan Hari Peresmian Perkawinan.Ini adalah adat yang menarik dan perlu diketahui bagi kita-kita yang ingin meminang gadis yang berasal dari Etnis Sikka-Krowe,salah satu etnis dari enam kelompok etnis yang ada di Kabupaten Sikka.


Dikutip dari tulisan Alex Sila,S.Fil dan Agustinus Joram,S.Fil, Puslitbang STFK (Sekolah Tinggi Filsafat Khatolik) Ledalero, Kabupaten Sikka, 2008 dan inimaumere.com

KOmentar FACEBOOK