By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

By Theo Lering

TentangFlobamorata.blogspot.com

Rabu, 01 Juni 2011

Liurai Dalam Sejarah Belu



Silsilah Liurai Fatuaruin (Liurai Wehali) yang memerintah Belu :
1.       Hoa Diak Malaka
2.       Dasin Don Peur
3.       Dasin Dinik Liurai
4.       Dasin Neken Liurai
5.       Dasin Bada Mataus
6.       Dasin Don Alesu Fernandes
7.       Dasin Liurai Muskita
8.       Seran Tae Boboto Rui
9.       Dasin Tei Seran
10.   Dasin Tere Atok Liurai I
11.   Dasin Tere Atok II
12.   Dasin Tey Seran Liurai
13.   Josef Seran Fatin (Nai Bot Liurai Malaka)
14.   Anton Tey Seran
15.   Louis Sanaka Tey Seran

Liurai I :
           
Dikisahkan, pada zaman dulu, liurai pertama adalah seorang wanita yang sangat cantik menawan, disanjung, diberi gelar Diak Malaka. Ia adalah Liurai feto dan kawin dengan Seran Taen Boboto Rui Makerek yang diberi gelar : ” sui Likusaien, sui wehali” (sui dalam bahasa Tetun artinya : menanduk).

Liurai II :

      Dari perkawinan Hoa Diak Malaka dengan Seran Taen Baboto Ruin Makerek ini, lahirlah dua orang anak, salah seorang anak bernama Don Peur yang menggantikan ibunya sebagai Liurai kedua. Sedangkan anaknya yang lain, seorang putri raja bernama Dona Hodak, kawin dengan raja
Loosina bernama Hoa Sina Malaka Liurai. Turunan dari perkawinan mereka hingga Liurai Liurai VII tidak diberi kehormatan untuk menjabat sebagai Liurai karena saat itu garis hukum keturunan masih diakui dari garis bapak (patriarchat)

Liurai III :

      Lalu Dasi Don Peur sebagai Liurai II menikahi anak raja Dirma bernama Dasin Masaurain. Dari perkawinan mereka lahirlah dua bersaudara yakni Dasin Dinik Liurai sebagai Liurai yang ketiga sedangkan adiknya Dasin Eno Tinik Liurai meninggal sehingga tidak punya keturunan.

Liurai IV :

      Dasin Dinik Liurai (Liurai III) kawin dengan Dasin Telek Masan Rain II, anak raja Melus Maketan. Dari perkawinan ini, lahirlah Dasin Neken Liurai sebagai Liurai IV. Dasin Neken Liurai kawin dengan dua orang istri, yakni Dasin Abulorok, anak raja Jenilu dan Dasin Lese Bauk, anak raja Bakiduk. Masa pemerintahan Liurai IV ini dikenal orang sebagai raja yang piawai dalam membagi tanah Timor.

Liurai V :

      Keempat anak hasil perkawinan Liurai IV dengan anak raja Jenilu diberi kuasa kuasai memerintah tanah Timor yang sudah dibaginya. Yakni Dasin Bada Mataus dijadikan Liurai V, tinggal di Wehali. Dasin Ura Mataus Liurai Likusaen berkuasa di Dili. Dasin Soko Mataus Liurai di Kupang Sonbay dan Dasin Neken Mataus Liurai merantau ke Larantuka.

Liurai VI :

      Sebagaimana disebutkan diatas bahwa Liurai keempat (Dasin Neken Liurai) mempunyai dua orang istri. Hasil perkawinan dengan istri anak raja Bakiduk, yakni Dasin Don Alesu Fernandes diangkat sebagai Liurai VI. Liurai ini dikenal sebagai raja yang menerima tongkat mas dan perak zaman Portugis. Juga sejarah mencatat, Liurai VI ini kawin dengan Dasin Hoa Tuka, anak raja Larantuka.

Liurai VII :

      Perkawinan Liurai VI dengan anak raja Larantuka ini melahirkan Dasin Liurai Muskita sebagai Liurai VII. Sampai disini selesailah garis hukum keturunan Liurai yang biasa diambil dari garis patrilineal, maka sejarah mencatat bahwa untuk selanjutnya Liurai diambil dari garis matrilineal hingga sekarang sesuai hukum adat warga Wesei Wehali.

Liurai VIII :

      Muskita memperistri Dasin Bano Tae Liurai dari garis keturunan matrilineal anak raja Babotin, lahirlah Seran Tae Boboto Rui Makerek II, yang diangkat sebagai Liurai VIII dan memerintah di Sasitamean. Liurai VIII ini turunan langsung dari garis ketururan raja Bobotin bernama Dasin Tere Tae

Liurai IX :

      Liurai VIII (Liurai Sasitamean) ini kawin dengan Telek Masan Rai III melahirkan Dasin Tei Seran Liurai yang kelak diangkat sebagai Liurai IX dan Nai Kmesak Maunbon.

Liurai X :

      Kelak Liurai IX ini kawin dengan Dasin Telek Bian Manlea. Dari perkawinan ini lahirlah Dasin Tere Atok Liurai yang dimahkotai sebagai Liurai X.

Liurai XI
     
      Liurai X mempunyai dua isteri. Isteri pertama namanya Dasin Luruk Tey Seran dan dari perkawinan ini lahirlah Dasin Tere Atok II yang diangkat menjadi Liurai XI.

Liurai XII :

      Sedangkan dengan isteri kedua bernama Dasi Telek Tey Seran lahirlah Dasin Tey Seran Liurai, yang diberi gelar Liurai XII, raja Fatuaruin yakni bapak dari almarhum Liurai Terakhir (Louis Sanaka Tey Seran).

Liurai XIII :

      Ketika Liurai XII ini meninggal, anaknya (Louis Sanaka Tey Seran) masih kecil. Ketika itu pemerintah mengambil inisiatif untuk mengisi kekosongan dengan memilih Josef Seran Fahik  yang dikenal sebagai Nai Bot Liurai Malaka. Josef Seran Fatin dalam percaturan politik pembentukan swapraja dipercaya untuk menjadi tampuk pimpinan Swapraja Malaka dan Belu.

Liurai IV

      Dikisahkan, Liurai XII kawin dengan Kolo Bian dari Sonaf Uimriso, turunan Ae Bian Manlea. Hasil Perkawinan ini adalah Anton Tey Seran yang sudah dinobatkan sebagai Liurai XIV tapi mendadak ke Bima, Sumbawa untuk belajar dibiayai oleh pemerintahan Hindia Belanda mengenai kesultanan. Ia meninggal dan terakhir kerangkanya dipindahkan untuk dimakamkam di Belu.
Liurai XV :

      Louis Sanaka Tey Seran, adik kandung Anton Manek Tey Seran dinobatkan menjadi Liurai XV. Ia memperisteri Theresia Bete Niis, anak raja Bea Neno / Pah Un Bea Neno dan memiliki 10 anak. Mereka adalah Gaudensia Luruk Tei Seran, Maria Hoar Tei Seran, Antonius Tei Seran, Magdalena Muti Tei Seran, Demitrius Nana Tei Seran, Natalia Adelina Bendita Tei Seran, Dominggus Arenkian Aria Neno Tei Seran, Yulianus Antonius Liurai, Flora Diana Mako Tei Seran dan Dominikus Hilarius Liurai. (Sumber : Belu, Pemimpin dan Sejarah)


GBU

Sejarah singkat nenek moyang Kabupaten Belu

Sejarah singkat nenek moyang Kabupaten Belu

Sesuai berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah di Belu, manusia Belu pertama yang mendiami wilayah Belu adalah “Suku Melus”. Orang Melus di kenal dengan sebutan “Emafatuk oan ai oan”, (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar orangnya dan bertubuh pendek. Selain para pendatang, yang menghuni Belu sebenarnya berasal dari “Sina Mutin Malaka”. Malaka sebagai tanah asal – usul pendatang di Belu yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka. Khusus untuk para pendatang baru yang mendiami daerah Belu terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
nenek moyang kabupaten belu
Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing – masing daerah berlainan. Dari makoan Fatuaruin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah ; Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Naik.
Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan.
Sedangkan dari semua pendatang di Belu itu pimpinan dipegang oleh “Maromak Oan” Liurai Nain di Belu bagianh Selatan. Bahakan menurut para peneliti asing Maromak Oan kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di belu, maromak Oan memiliki perpanjangantangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Fatuaruin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Maromak Oan sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.
Para pendatang di belu tersebut, tidak membagi daerah Belu menjadi Selatan dan Utara sebagaimana yang terjadi sekarang. Menurut para sejarahwan, pembagian Belu menjadi Belu bagian Selatan dan Utara hanyalah merupakan strategi pemerintah jajahan Belanda untuk mempermudah sistem pengontrolan terhadap masyarakatnya. Dalam keadaan pemerintahan adapt tersebut muncullah siaran dari pemerintah raja – raja dengan apa yang disebutnya “Zaman Keemasan Kerajaan”. Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Belu). Di Dawan ada kerajaan Sonbay yang berkuasa di daerah Mutis. Daerah Dawan termasuk Miamafo dan Dubay sekitar 40.000 jiwa masyarakatnya. Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk  mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Sang Maromak Oan mengirim para pembantunya ke seluruh Belu sebagai Loro dan Liurai.
Tercatat nama – nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.
Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal dengan nama As Tanara membawahi dasi sanulu yang dikenal sampai sekarang ini yaitu Lasiolat, Asumanu, Lasaka, Dafala, Manukleten, Sobau, LIdak, Tohe Manumutin, dan Aitoon. Dalam berbagai penuturan di Utara maupun di Selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal – usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.
C.         Susunan Strafikasi Masyarakat Belu

Membahas tentang struktur masyarakat tidak lain dari pada mengulas tentang tingkatan – tingkatan dalam masyarakat yang ada dalam.yang ada dalam suatu komunitas atau persekutuan tertentu. Yang tersusun dalam susunan atau lapisan – lapisan dalam masyarakat yang disebut stratifikasi sosial. Pembagian dan pembedaan masyarakat Belu dalam kelas – kelas hirarkis di bawah ini di dasarkan pada turunan/ras yang yang ada sejak penduduk para pendatang sampai dengan kejayaan zaman kerajaan.
Menurut H.J. Grijzen seperti dikutip dalam tulisan Rm. Florens Maxi Un Bria dalam “ The Way To Happiness Of Belu People”  bahwa masyarakat Belu mengenal klasifikasi masyarakatnya atas 3 (tiga) golongan, yang secara hirarkis terdiri dari :
  •   Dasi  atau golongan bangsawan yang menempati lapisan terpusat dan dari kelompok inilah terpilih Loro / Liurai / Na’I yang akan memangku jabatan kepemerintahan secara turun temurun.
  • Renu yang tidak lain adalah rakyat jelata yang merdeka
  • Ata atau klason yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan renu atau golongan dasi. Perdagangan budak belian ini sempat menjadi komoditi pada tahun 1892 (pada daerah Jenilu – Atapupu)  sampai pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda mengeluarkann “Pax Nederlandica” sehingga perdagangan budak dihapus.

Pembagian masyarakat Belu sendiri ditinjau dari segi ekonomis terdiri dari klasifikasi “orang berpunya/the haves” (Ema Mak Soin) dan kelompok “orang miskin/the haves not” (Ema Kmukit). Ukuran untuk menentukan dua macam kelas ini tergantung pada pendapatan yang ia peroleh dan cara atau pola hidupnya setiap hari. Dari sudut politik pemerintahan nasional, kita mengetahui bahwa penggolongan masyarakat Jawa atas tiga golongan / tiga kelompok  besar yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Dalam keterkaitannya dengan struktur masyarakat Belu maka kita mengenal beberapa kelompok/golongan masyarakat yang terdiri dari:
  •       Pertama adalah kelompok teratas atau kelompok raja (Nain Oan) masuk kelompok priyayi.
  • Kelompok lain adalah kelompok masyarakat bawah (Hutun Renu) atau marjinal dan orang kecil.
  •    Antara dua kelompok itu ada kelompok penengah atau disebut Fukun dato.
 Keterkaitan antara ketiga kelompok utama tersebut terwujud dalam realisasi program dan kerja nyata. Dalam hal ini, kelompok Raja berperan mengawasi pelaksanaan pembangunan dan membuat putusan pemerintahan. Kelompok Hutun Renu sebagai mediator antara kedua kelompok tersebut. Perlu dicatat di sini bahwa dalam proses pengambilan keputusan (fui mutu lian-fui mtun ibun) secara adapt dengan korban bakaran.
            Perlu ditambahkan disini bahwa dalam jajaran dan tataran kelompok penurutan raja atau kerabatan horizontal yang dinamakan “klaken soman” ada juga kelompok vertikal yang disebut “Tohu Larus Hudi Oan”. Dalam catatan sejarah lokal, menuturkan bahwa di kerajaan Wewiku – Wehali ada 4 dato yang sangat berperan dalam fungsinya sebagai mediator yaitu, Dato Leki Nahak Tamiru Usi Hawai Lerek (penguasa daerah pesisir laut) atau yang disebut Meti Ketuik. Dato Klisuk Rae dan Klisuk Lor yang menguasai daerah enclave laut (hasan). Sedangkan Dato Mota menguasai daerah pesisir kali Benenai (Mota Ninin Here Ninin). Sehingga sesekali dalam kurun waktu tertentu seorang Dato wajib membawahi upeti kepada rajanya.
(sumber : Bappeda Kab. Belu

GBU

Sejarah Singkat Kabupaten Alor

 


Menurut cerita yang beredar di masyarakat Alor, kerajaan tertua di Kabupaten Alor adalah kerajaan Abui di pedalaman pegunungan Alor dan kerajaan Munaseli di ujung timur pulau Pantar. Suatu ketika, kedua kerajaan ini terlibat dalam sebuah Perang Magic. Mereka menggunakan kekuatan-kekuatan gaib untuk saling menghancurkan. Munaseli mengirim lebah ke Abui, sebaliknya Abui mengirim angin topan dan api ke Munaseli. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Munaseli. Konon, tengkorak raja Abui yang memimpin perang tersebut saat ini masih tersimpan dalam sebuah goa di Mataru. Kerajaan berikutnya yang didirikan adalah kerajaan Pandai yang terletak dekat kerajaan Munaseli dan Kerajaan Bunga Bali yang berpusat di Alor Besar. Munaseli dan Pandai yang bertetangga, akhirnya juga terlibat dalam sebuah perang yang menyebabkan Munaseli meminta bantuan kepada raja kerajaan Majapahit, mengingat sebelumnya telah kalah perang melawan Abui.
Sekitar awal tahun 1300-an, satu detasmen tentara bantuan kerajaan Majapahit tiba di Munaseli tetapi yang mereka temukan hanyalah puing-puing kerajaan Munaseli, sedangkan penduduknya telah melarikan diri ke berbagai tempat di Alor dan sekitarnya. Para tentara Majapahit ini akhirnya banyak yang memutuskan untuk menetap di Munaseli, sehingga tidak heran jika saat ini banyak orang Munaseli yang bertampang Jawa. Peristiwa pengiriman tentara Majapahit ke Munaseli inilah yang melatarbelakangi disebutnya Galiau (Pantar) dalam buku Negarakartagama karya Mpu Prapanca yang ditulisnya pada masa jaya kejayaan Majapahit (1367). Buku yang sama juga menyebut Galiau Watang Lema atau daerah-daerah pesisir pantai kepulauan. Galiau yang terdiri dari 5 kerajaan, yaitu Kui dan Bunga Bali di Alor serta Blagar, Pandai dan Baranua di Pantar. Aliansi 5 kerajaan di pesisir pantai ini diyakini memiliki hubungan dekat antara satu dengan lainnya, bahkan raja-raja mereka mengaku memiliki leluhur yang sama.
Pendiri ke 5 kerajaan daerah pantai tersebut adalah 5 putra Mau Wolang dari Majapahit dan mereka dibesarkan di Pandai. Yang tertua di antara mereka memerintah daerah tersebut. Mereka juga memiliki hubungan dagang, bahkan hubungan darah dengan aliansi serupa yang terbentang dari Solor sampai Lembata. Jalur perdagangan yang dibangun tidak hanya di antara mereka tetapi juga sampai ke Sulawesi, bahkan ada yang menyebutkan bahwa kepulauan kecil di Australia bagian utara adalah milik jalur perdagangan ini. Mungkin karena itulah beberapa waktu lalu sejumlah pemuda dari Alor Pantar melakukan pelayaran ke pulau Pasir di Australia bagian utara. Laporan pertama orang-orang asing tentang Alor bertanggal 8–25 Januari 1522 adalah Pigafetta, seorang penulis bersama awak armada Victoria sempat berlabuh di pantai Pureman, Kecamatan Alor Barat Daya. Ketika itu mereka dalam perjalanan pulang ke Eropa setelah berlayar keliling dunia dan setelah Magelhaen, pemimpin armada Victoria mati terbunuh di Philipina. Pigafetta juga menyebut Galiau dalam buku hariannya. Observasinya yang keliru adalah penduduk pulau Alor memiliki telinga lebar yang dapat dilipat untuk dijadikan bantal sewaktu tidur. Pigafetta jelas telah salah melihat payung tradisional orang Alor yang terbuat dari anyaman daun pandan. Payung ini dipakai untuk melindungi tubuh sewaktu hujan.

GBU                                        (wikipedia)

Jumat, 15 April 2011

Sejarah Singkat Kabupaten Lembata

 

Sebelum Tahun 2001 wilayah kabupaten Lembata termasuk kompetensi relatif Pengadilan Agama Larantuka, seiring dengan terbentuknya Kabupaten Lembata sebagai kabupaten otonom berdasarkan Undang-undang Nomor 52 Tahun 1999, maka kebutuhan akan terbentuknya institusi penegak hukum khususnya Pengadilan Agama Lewoleba di wilayah Kabupaten Lembata adalah sangat urgen dan setidak-tidaknya menjawab kebutuhan masyarakat akan keadilan melalui pendekatan pelayanan bagi para pencari keadilan.
Dasar hukum terbentuknyea Pengadilan Agama Lewoleba adalah Surat Keputusan Presiden RI Nomor 179 Tahun 2000 tanggal  22 Desember 2000, dan selanjutnya diresmikan pada tanggal 10 September 2001 dengan berkantor sementara di Kantor Urusan Agama Kecamatan Lebatukan, maka sejak saat itu Pengadilan Agama Lewoleba berdiri sendiri dengan wilayah yurisdiksi meliputi seluruh wilayah Kabupaten Lembata, yang terdiri dari tujuh kecamatan.
Terbentuknya Kantor Pengadilan Agama Lewoleba merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat pencari keadilan, yang sebelumnya mereka harus ke Pengadilan Agama Larantuka yang membutuhkan biaya, waktu dan tenaga yang tidak sedikit, padahal azas peradilan adalah   “sederhana, cepat dan biaya ringan” sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman.
Setelah terbentuknya Pengadilan Agama Lewoleba maka terbitlah Surat Keputusan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kupang terhadap pegawai/pejabat yang bertugas di Pengadilan Agama Lewoleba sebanyak lima orang Yaitu;
  1. Drs. Suyadi, sebagai Ketua Pengadilan Agama Lewoleba, mutasi dari Pengadilan Agama Soe.
  2. Drs. Moh. Ghofur, sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama Lewoleba, mutasi dari Pengadilan Agama Larantuka.
  3. Drs. Munip, sebagai Hakim, mutasi dari PengadilanAgama Alor.
  4. Mardum, SH. Sebagai Panitera/sekretaris, mutasi dari Pengadilan Agama Larantuka.
  5. Muazzim, sebagai Wakil Sekretaris, mutasi dari Pengadilan Agama Bajawa
Kelima pegawai/pejabat inilah yang pertama kali mengendalikan Pengadilan Agama Lewoleba. 
Pada tahun 2002 ada alokasi anggaran dalam DIP proyek peningkatan prasarana fisik BSPA yang diperuntukkan untuk rehabilitasi Kantor Pengadilan Agama Kefamenanu, mengingat kantor Pengadilan Agama Kefamenanu masih baik maka diusulkan direvisi dan diperuntukkan pembangunan Kantor Pengadilan Agama Lewoleba, dan usul revisi tersebut distujui oleh ditjen anggaran maka pada tahun 2002 dibangunlah kantor Pengadilan Agama Lewoleba tahab I dengan nilai Rp. 113.800,-dibangun di atas tanah hibah dari Pemerintah Kabupaten lembata seluas 1950 M2.  
Pada tanggal 1 Januari 2003 Kantor Pengadilan Agama Lewoleba pindah ke jalan Trans Lembata yang menempati empat local yaitu : ruang ketua, ruang kesekretariatan, ruang kepaniteraan dan ruang sidang. Ditempat yang baru inilah para pejabat dan karyawan Pengadilan Agama Lewoleba menjalankan tugasnya walaupun masih dirasa belum representative, namun mereka tetap melaksanakan tugasnya dengan baik mengingat sumpah/janji seorang pegawai adalah menjunjung tinggi dedikasi dan loyalitas dalam bekerja.
Pada tahun 2004 terjadi mutasi pimpinan, Drs.Suyadi Ketua Pengadilan Agama Lewoleba pindah ke Pengadilan Agama Cikarang, sebagai penggantinya Drs.Moh.Ghofur, MH. Yang sebelumnya sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama Lewoleba, sedangkan Wakil Ketua Pengadilan Agama Lewoleba diganti oleh Drs. Supadi, MH., yang sebelumnya sebagai Hakim Pengadilan Agama Larantuka. Selang beberapa bulan terjadi lagi mutasi atas nama Drs. Munip, Hakim Pengadilan Agama Lewoleba ke Pengadilan Agama Sukabumi, dan pada tahun yang bersamaan Pengadilan Agama Lewoleba mendapat pindahan seorang Hakim yang bernama Dra.Hj. Hasnia,HD, dari Pengadilan Agama Sinjai, sehingga proses persidangan tetap berjalan lancar karena sudah memenuhi satu majelis.Dan pada Tahun 2004 ada penambahan bangunan gedung tiga local lagi dan pembangunan pagar, sehingga semua karyawan bisa bekerja dengan tenang diruang masing-masing.
Berkat tuntutan reformasi maka pada tanggal 30 Juni  2004, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tertanggal 23 Maret 2004, seluruh administrasi, organisasi dan financial pengadilan agama dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung RI, dengan demikian sejak tanggal tersebut  pengadilan agama baik dibidang organisasi, administrasi dan financial serta yustisial berada dibawah Mahkamah Agung. Selanjutnya Mahkamah Agung mempunyai kebijaksanaan bahwa seluruh kantor pengadilan diseluruh Indonesia dalam pembangunannnya hendaknya memenuhi prototype nasional. Untuk itu pada tahun 2007 Pengadilan Agama Lewoleba mengajukan permohonan lokasi tanah kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata untuk pembangunan kantor Pengadilan Agama Lewoleba yang sesuai dengan standar nasional. Dan Pemerintah Kabupaten mengabulkan permintaan Pengadilan Agama Lewoleba. Sehingga Pengadilan Agama Lewoleba diberi hibah tanah seluas kurang lebih 3900 M2, yang terletak di komplek Perkantoran Lusikawak.
Pada akhir tahun 2007 terjadi pergantian pimpinan Pengadilan Agama Lewoleba, karena Drs. Moh. Ghofur, MH., Ketua Pengadilan Agama Lewoleba dimutasi ke Pengadilan Agama Jember, sebagai penggantinya  Drs. Supadi, MH., yang sebelumnya sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama Lewoleba, dan untuk Wakil Ketua diisi oleh Dra. Hj. Hasnia, HD, yang sebelumnya Hakim Pengadilan Agama Lewoleba.
Mengingat Kantor Pengadilan Agama lewoleba yang ada susunan tata ruangnya tidak menggambarkan sebuah kantor pengadilan yang berwibawa dan representative maka pada tahun 2007 diusulkan ke Mahkamah Agung agar dibangun Kantor Pengadilan Agama Lewoleba yang memenuhi standar nasional. Dan Alhamdulillah pada tahun 2008 usulan pembangunan gedung kantor Pengadilan Agama Lewoleba dikabulkan melalui DIPA tahun 2008, maka dimulailah pembangunan tahab I Kantor Pengadilan Agama  Lewoleba yang sesuai standar nasional, dengan bangunan dua lantai, luas seluruh bangunan 1141 M2. Kemudian pada tahun 2009 dilanjutkan tahap II. Akhirnya pada tanggal 25 Maret 2010 Kantor Pengadilan Agama Lewoleba yang baru diresmikan oleh Bapak Ketua Mahkamah Agung RI yang dipusatkan di Pontianak Kalimantan Barat. Kemudian efektifnya penempatan dan pemanfaatan Kantor baru tersebut dilaksanakan pada bulan Agustus 2010.
Pada bulan September 2010 terjadi  lagi  mutasi Pimpinan dalam hal ini Ketua Drs. Supadi, MH. Yang dimutasikan ke Pengadilan Agama  Banyuwangi dan wakil Ketua  Dra. Hj. Hasnia, HD, dimutasikan sebagai Ketua Pengadilan Agama Maumere dan oleh karena terjadi kekosongan pimpinan, maka ditunjuklah Pelaksana Tugas yang juga Hakim Pengadilan Agama Lewoleba oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kupang atas nama H. Muh. Dahlar Asnawi, SH.  kemudian pada bulan November 2010 terjadi pengisian pimpinan sebagai Ketua atas nama Drs. Mohammad Hafizh Bula, MH. Yang sebelumnya sebagai Wakil Ketua Pengadilan Agama Bitung.

GBU

Sejarah Singkat Kabupaten Flores Timur


Kabupaten Flores Timur dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor : 69 tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tk II dalam wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, NTB dan NTT. Undang-Undang tersebut ditetapkan tanggal 20 Desember 1958 sehingga setiap tanggal 20 Desember diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kabupaten Flores Timur.

Pada awal pembentukan Kabupaten Flores Timur terdiri dari 8 Kecamatan yaitu :
1.Kecamatan Lomblen Timur Ibukota : Hadakewa
2.Kecamatan Lomblen Barat Ibukota : Boto
3.Kecamatan Solor Ibukota : Pamakayo
4.Kecamatan Adonara Timur Ibukota : Waiwerang
5.Kecamatan Adonara Barat Ibukota : Waiwadan
6.Kecamatan Larantuka Ibukota : Larantuka
7.Kecamatan Wulanggitang Ibukota : Boru
8.Kecamatan Tanjung Bunga Ibukota : Waiklibang

Pada tahun 1964, terjadi pemekaran Kecamatan di Lomblen (Lembata) dan Solor yaitu :
- Kecamatan Lomblen Timur dimekarkan menjadi 4 kecamatan yaitu :
1.Kecamatan Omesuri Ibukota : Balauring
2.Kecamatan Buyasuri Ibukota : Wairiang
3.Kecamatan Ile Ape Ibukota : Waipukan
4.Kecamatan Lebatukan Ibukota : Hadakewa

- Kecamatan Lomblen Barat dimekarkan menjadi 2 Kecamatan yaitu :
1.Kecamatan Atadei Ibukota : Waiteba
2.Kecamatan Nagawutung Ibukota : Boto

- Kecamatan Solor dimekarkan menjadi 2 Kecamatan yaitu :
1.Kecamatan Solor Timur Ibukota : Menanga
2.Kecamatan Solor Barat Ibukota : Ritaebang

Dengan pemekaran tersebut maka jumlah kecamatan di Kabupaten Flores Timur menjadi 13 Kecamatan yaitu :
1.Kecamatan Wulanggitang Ibukota : Boru
2.Kecamatan Larantuka Ibukota : Larantuka
3.Kecamatan Tanjung Bunga Ibukota : Waiklibang
4.Kecamatan Adonara Timur Ibukota : Waiwerang
5.Kecamatan Adonara Barat Ibukota : Waiwadan
6.Kecamatan Solor Timur Ibukota : Menanga
7.Kecamatan Solor Barat Ibukota : Ritaebang
8.Kecamatan Nagawutung Ibukota : Boto
9.Kecamatan Atadei Ibukota : Waiteba
10.Kecamatan Lebatukan Ibukota : Hadakewa
11.Kecamatan Ile Ape Ibukota : Waipukan
12.Kecamatan Omesuri Ibukota : Balauring
13.Kecamatan Buyasuri Ibukota : Wairiang

Pada tahun 1999, ditetapkan UU no 52 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Lembata dan diresmikan oleh Gubernur NTT pada tahun 1999, maka Kabupaten Flores Timur terdiri hanya terdiri dari pulau Solor, Adonara dan Flores Timur Daratan dan Kecamatan terdiri dari :
1.Kecamatan Wulanggitang Ibukota : Boru
2.Kecamatan Larantuka Ibukota : Larantuka
3.Kecamatan Tanjung Bunga Ibukota : Waiklibang
4.Kecamatan Adonara Timur Ibukota : Waiwerang
5.Kecamatan Adonara Barat Ibukota : Waiwadan
6.Kecamatan Solor Timur Ibukota : Menanga
7.Kecamatan Solor Barat Ibukota : Ritaebang

Pada tahun 2001, dengan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur No.7 tahun 2001 tentang Peningkatan Status kecamatan pembantu menjadi kecamatan definitif maka jumlah kecamatan di Kabupaten Flores Timur menjadi 13 Kecamatan terdiri dari :
1.Kecamatan Wulanggitang Ibukota : Boru
2.Kecamatan Larantuka Ibukota : Larantuka
3.Kecamatan Tanjung Bunga Ibukota : Waiklibang
4.Kecamatan Adonara Timur Ibukota : Waiwerang
5.Kecamatan Adonara Barat Ibukota : Waiwadan
6.Kecamatan Solor Timur Ibukota : Menanga
7.Kecamatan Solor Barat Ibukota : Ritaebang
8.Kecamatan Titehena Ibukota : Lato
9.Kecamatan Ile Mandiri Ibukota : Lewohala
10.Kecamatan Wotan ulumado Ibukota : Baniona
11.Kecamatan Ile Boleng Ibukota : Senadan
12.Kecamatan Witihama Ibukota : Witihama
13.Kecamatan Kelobagolit Ibukota : Pepakelu

Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur No.2 tahun 2006 tentang Pembentukan Kecamatan Baru maka jumlah kecamatan di Kabupaten Flores Timur menjadi 18 Kecamatan terdiri dari :
1.Kecamatan Wulanggitang Ibukota : Boru
2.Kecamatan Ile Bura Ibukota : Lewotobi
3.Kecamatan Titehena Ibukota : Lato
4.Kecamatan Demon Pagong Ibukota : Lewokluok
5.Kecamatan Larantuka Ibukota : Larantuka
6.Kecamatan Ile Mandiri Ibukota : Lewohala
7.Kecamatan Lewolema Ibukota : Kawaliwu
8.Kecamatan Tanjung Bunga Ibukota : Waiklibang
9.Kecamatan Solor Barat Ibukota : Ritaebang
10.Kecamatan Solor Timur Ibukota : Menanga
11.Kecamatan Wotan Ulumado Ibukota : Baniona
12.Kecamatan Adonara Barat Ibukota : Waiwadan
13.Kecamatan Adonara Tengah Ibukota : Lewobele
14.Kecamatan Adonara Timur Ibukota : Waiwerang
15.Kecamatan Ile Boleng Ibukota : Senadan
16.Kecamatan Witihama Ibukota : Witihama
17.Kecamatan Kelubagolit Ibukota : Pepakelu
18.Kecamatan Adonara Ibukota : Sagu

Sekarang Kabupaten Flores Timur mempunyai 18 Kecamatan.

Peta Kabupaten Flores Timur


GBU

Sejarah Singkat Kabupaten Ende


Cerita asal mula berdirinya Nua Ende meningkat menjadi Kota Ende, samar-samar saja. Dongeng-dongeng yang mengarah kesana tidak sama benar. Fragmen sejarah tidak memberi kejelasan. Karena itu tidak mudah memberikan jawaban atas pertanyaan : Oleh siapa dan kapan Nua Ende di mulaikan. Mythos yang samar-samar perlu diteliti bersampingan dengan fragmen sejarah, agar dua sumber ini Bantu- membantu dalam usaha mencarikan jawaban yang baik.
I. Segi Mythos
Mythos didirikan Nua Ende adalah unsur pra sejarah yang dapat dijadikan sumber penelitian. Dongeng-dongeng yang diteliti ini adalah kutipan dari karangan S.Roos “ Iets Over Ende “ dan karangan Van Suchtelen tentang onderafdeling Ende.
S.Roos membicarakan antara lain masalah berdirinya Nua Ende dan Tanah Ende B.B.C.M.M. Van Suchtelen Kontroleur onderafdeling Endemengemukan mythos Dori Woi, Kuraro, Jari Jawa. Perbedaan antara S.Roos dan van Suchtelen ialah mythos Kontroleur S.Roos (Sumbi) dibawakan dengan umum saja, sedangkan mythos Van Suchtelen diceritakan dengan diperinci.
S.ROOS Tentang Nua Ende ,Tana Ende
Walaupun tidak diperinci namun ceritera yang dikemukan Roos amat berharga. Diceriterakan kepadanya tahun 1872 bahwa kira-kira sepuluh turunan lalu sudah turun dua orang dari langit, Ambu Roru lelaki dan Ambu Mo` do wanita. Mereka kawin dan mendapat lima anak, tiga wanita dua lelaki. Satu wanita menghilang tanpa kembali lagi. Empat anak yang lain melanjutkan turunan Ambu Roru dan Ambu Mo`do
Pada suatu hari, Borokanda, Rako Madange, Keto Kuwa bersampan dari Pulau Ende ke Pulau Besar karena mereka memasang bubuk disana, untuk menangkap ikan.Mereka mendapat banyak ikan yang separohnya mereka makan ditempat dan yang sisa mereka bawa ke rumah. Sementara makan itu datang tuan tanah Ambu Nggo`be yang diajak turut makan.Pertemuan mereka membawakan persahabatan.
Ambu Nggo`be mengajak orang-orang itu meninggalkan Pulau Ende supaya berdiam dipulau besar. Anak isteri dan harta milik dapat diboyong kemudian.Ambu Nggo`be berikan tanah dengan syarat mereka harus bayar, satu gading dan se utas rantai mas. Bahan warisan itu masih disimpan Kai Kembe seorang turunan lurus Ambu Nggo`be. Jadi semua syarat dipenuhi dan diselesaikan.Mereka menebang pohon dan semak memulaikan perkembangan yaitu Nua Roja yang kemudian diganti dengan nama Nua Ende.

Peta Kabupaten Ende

GBU

Sejarah Singkat Kabupaten Sikka

 

Dahulu Kabupaten Sikka merupakan Onder Afdeling yang kemudian menjelma menjadi "Swapraja Sikka" (Provinsi Sunda Kecil). Swapraja Sikka diperintah oleh seorang raja yang memerintah secara turun temurun.

Raja-raja yang pernah mengepalai kerajaan sikka adalah :

1. Zaman pemerintahan Portugis :
• Raja Don Alesu Ximenes da Silva
• Ratu Dona Ines ( putri raja don alesu ximenes da silva)
• Raja Djudje Mbako I, yang terkenal dengan sebutan " mbako kikir hiwa" artinya "mbako sembilan jari"
• Raja Prispin da silva
• Raja Don Luis Mbia da Silva
• Raja Thomas mbo I

2. Zaman pemerintahan Belanda :

• Raja Andreas Djati da Silva : 1874 - 1898
• Raja Mbako II : 1898 - 1902
• Raja J. Nong Meak da Silva : 1902 - 1922
• Raja Don Thomas Ximenes da Silva : 1922 - 1947
• Raja Don Thomas Ximenes da Silva : 1947 - 1954
• Raja P.c.x. da Silva : 1954 - 1958

Sejak pemerintahan raja J. Nong Meak da Silva tahun 1902, maka sistim sentralisasi pemerintahan kerajaan masa lampau mulai di rubah dengan sistim desentralisasi. Pada masa pemerintahan raja don thomas yang dinobatkan sebagai raja sikka pada tanggal 21 november 1923, maka sistim pemerintahan dijalankan dengan sistim pemencaran kekuasaan atau desentralisasi, sebagaimana yang di terapkan oleh raja sebelumnya.

Struktur pemerintahan kerajaan pada saat itu, raja dibantu oleh :

1. Dewan mo'ang 'liting puluh atau sepuluh anggota dewan kerajaan
2. Dibawah raja dan dewan tersebut ada semacam kepala distrik/gameente yang disebut kapitan
3. Dalam wilayah gameente terdapat kampung-kampung yang masing–masing dikepalai oleh seorang kepala adat atau di sebut tana puang

Sistim kerajaan - kerajaan sebelumnya :

1. Raja dan kapitan – kapitannya
2. Mo'ang 'liting puluh ( sepuluh tuan sebagai dewan perwakilan rakyat)
3. Mo'ang mangun lajar ( pemegang gading/bala mangun)

Dalam sistim sentralisasi pemerintahan, kapitan adalah merupakan suatu dewan yang terdiri dari 5 orang yaitu :
1. Kapitan moor : pengurus keadilan/kehakiman
2. Kapitan salaf : pengurus pertanian dan perdagangan
3. Kapitan guarda : pegawai pribadi raja
4. Kapitan alvares : pengurus keamanan
5. Kapitan pontera : pengurus peperangan

Disamping kabinet ada pula " dewan penasehat" terdiri dari :

1. Teniti generaal : tuan tanah
2. Kumendati : syahbandar
3. Morenho : dewan gereja

Selanjutnya dengan sistim desentralisasi oleh raja j. nong meak da silva, maka sistim pemerintahannya adalah sebagai berikut :

1. Raja memegang kekuasaan tertinggi
2. Kapitan (kekuasaannya di bawah raja)

Ada 17 orang kapitan dengan batas kekuasaan masing - masing (wilayah haminte). Dengan berlakunya undang-undang nomor 69 tahun 1958 (lembaran negara RI tahun 1958 nomor 122) tentang pembentukan daerah tingkat I bali, NTB dan NTT maka pada tanggal 1 maret 1958, daerah swapraja dijadikan DAERAH TINGKAT II dengan ibukotanya MAUMERE dengan kepala daerah pertama pada masa itu adalah D. P. C. ximenes da silva. Penyelengaraan pemerintahannya di dasarkan atas undang - undang nomor I tahun 1957 tentang pokok - pokok pemerintahan daerah.



Pada tahun 1967 daerah tingkat II sikka di ganti namanya menjadi " kabupaten sikka" dengan kepala daerahnya bapak laurensius say. Berdasarkan surat keputusan gubernur kepala daerah tingkat I Nusa Tenggara Timur tanggal 22 pebruari 1962 nomor pem.66/1/2 maka wilayah kabupaten sikka di bagi atas 5 buah kecamatan yaitu :

1. Kecamatan maumere
2. Kecamatan nita
3. Kecamatan talibura
4. Kecamatan kewapante
5. Kecamatan paga

Selanjutnya berdasarkan surat keputusan gubernur kepala daerah tingkat I Nusa Tenggara Timur tanggal 20 juni 1963 nomor pem.66/1/32 maka wilayah kecamatan kewapante dan nita dimekarkan menjadi :

1. kecamatan kewapante : - kecamatan kewapante, kecamatan bola
2. kecamatan nita : - kecamatan nita, kecamatan lela

Dengan adanya undang - undang nomor 5 tahun 1974 tentang pokok - pokok pemerintahan di daerah, maka sebutan nama " DAERAH KABUPATEN SIKKA " diganti menjadi " kabupaten daerah tingkat II sikka " dengan penerapan azas "dekonsentrasi". Prinsip otonomi yang di anut adalah " otonomi yang nyata dan bertanggung jawab ". Bupati kepala daerah tingkat II sikka waktu itu adalah bapak Laurensius Say.

Wilayah swapraja sikka dibagi dalam gemeente - gemeente. tiap - tiap gemeente dikepalai oleh seorang gemeente yang disebut : "KAPITAN", yang tugasnya adalah mengkoordinir kampung - kampung.

Tahun pembentukan Kabupaten Sikka adalah Tahun 1958.

Nama bupati pertama sampai sekarang adalah sebagai berikut :
1. D. P. C. ximenes da silva (1958 - 1960)
2. Paulus samador da cunha (1960 - 1967)
3. Laurensius Say (1967 – 1977
4. Drs. Daniel Woda Palle (1977 - 1988)
5. Drs. A. M. Conterius (1988 - 1993)
6. Alexander Idong (1993 - 1998)
7. Drs. Paulus Moa ( 1998 - 2003)
8. Drs. Alexander Longginus dan Drs. Yoseph Ansar Rera (2003 - 2009)
9. Drs. Sosimus Mitang (2009-sekarang)

Tahun 1992 dengan peraturan pemerintah republik indonesia nomor 29 tahun 1992, tanggal 26 mei 1992, ditetapkan pembentukan kecamatan Alok dengan ibukota Maumere.

Berdasarkan peraturan daerah kabupaten sikka nomor 3 tahun 2000, tanggal 9 oktober 2000, maka dibentuk kecamatan mego dengan ibukota lekebai, kecamatan waigete dengan ibukota waigete, dan kecamatan paluE dengan ibukota Uwa.

Sesuai peraturan daerah kabupaten sikka nomor 3 tahun 2005 tanggal 5 september 2005,dibentuk kecamatan Magepanda dengan ibukota Magepanda sebagai hasil pemekaran dari kecamatan Nita.

Pada tahun 2007 dilakukan pemekaran kecamatan talibura,kawapante,bola,alok,maumere, dan kecamatan paga. Hasil pemekaran kecamatan dimaksud, yaitu :
  1. Pembentukan kecamatan waiblama sesuai peraturan daerah kabupaten sikka nomor 1 tahun 2007 yang merupakan pemekaran dari kecamatan talibura.
  2. Pembentukan kecamatan alok barat dan kecamatan alok timur sesuai peraturan daerah kabupaten Sikka nomor 2 tahun 2007 yang merupakan pemekaran kecamatan alok dan penggabungan beberapa desa dari kecamatan maumere.
  3. Pembentukan kecamatan koting sesuai peraturan daerah kabupaten sikka nomor 3 tahun 2007 yang merupakan pemekaran dari kecamatan maumere.
  4. Pembentukan kecamatan tana wawo sesuai peraturan daerah kabupaten sikka nomor 4 tahun 2007 yang merupakan pemekaran dari kecamatan paga.
  5. Pembentukan kecamatan hewokloang dan kecamatan kangae sesuai peraturan daerah kabupaten Sikka nomor 5 tahun 2007 yang merupakan pemekaran dari kecamatan kawapante
  6. Pembentukan kecamatan doreng dan kecamatan mapitara sesuai peraturan daerah kabupaten sikka nomor 6 tahun 2007 yang merupakan pemekaran dari kecamatan bola.

Peta Kabupaten Sikka

GBU 

Sejarah Singkat Kabupaten Nagekeo

Nagekeo adalah kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia berdasarkan UU no. 2 tahun 2007. Peresmiannya dilakukan tanggal 22 Mei 2007 oleh Penjabat Mendagri Widodo A.S.. Elias Djo ditunjuk sebagai penjabat bupati.[1]
Pusat pemerintaha Kabupaten Nagekeo berlokasi di Mbay. Luas wilayah 1.386 km persegi dan berpenduduk 110.147 jiwa. Wilayah ini merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Ngada. Kabupaten Nagekeo sendiri untuk saat ini secara administrasi terdiri dari 7 kecamatan:

  1. Mbay
  2. Aesesa
  3. Boawae
  4. Mauponggo
  5. Nangaroro
  6. Keo Tengah
  7. Wolowae
dengan 90 desa atau kelurahan.


Peta kabupaten Ngada 

GBU

Sejarah Singkat dan Gambaran Umum Orang Belu

Gambaran umum masyarakat Belu


kabupaten belu
Ditinjau dari segi budaya dan antropologis, penduduk Kabupaten Belu dalam susunan masyarakatnya terbagi atas empat sub etnik yang besar, yaitu Ema Tetun, Ema Kemak, dan Ema dawan Manlea.
Keempat sub etnik mendiami lokasi-lokasi dengan karerkteristik tertentu dengan kekhasan penduduk bermayoritas penganut agama Kristen Katolik. Masing-masing etnik tersebut mempunyai bahasa dan praktek budaya yang saling berbeda satu sama lain dan kesamaan dilain segi.
Kendati demikian masyarakat Belu dapat dengan mudah hidup rukun dikarenakan aspek kesamaan-kesamaan spesifik. Mata Pencaharian utama adalah bertani yang masih dikerjakan secara ekstensif tradisional.
      Dari aspek ekologis, kondisi tanah Belu sangat subur karena selain memiliki lapisan tanah jenis berpasir dan hitam juga dikondisikan dengan curah hujan yang relatif merata sepanjang tahun. Daerah Belu yang subur tersebut membuatnya potensial untuk dikembangkan menjadi daerah peternakan dan pertanian.
Sub sektor perikanan dengan kawasan pantai yang membentang dari Belu bagian selatan sampai utara turut mempengaruhi pemerataan pekerjaan dan pendapatan.
Selain itu, dari sub sektor kehutanan kontribusi yang diperoleh juga signifikan dengan beberapa jenis pohon produktif seperti cendana, eukaliptus, kayu merah dan jati. Dari sektor dan sub sektor lainnya seperti perdagangan dan jasa, industri dan lainnya juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan PDRB dan peningkatan PAD.


Sejarah singkat orang Belu

        Sesuai berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah di Belu, manusia Belu pertama yang mendiami wilayah Belu adalah 'Suku Melus.' Orang Melus dikenal dengan sebutan Emafatuk oan ai oan (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar orangnya dan bertubuh pendek. Selain para pendatang, yang menghuni Belu sebenarnya berasal dari Sina Mutin Malaka. Malaka sebagai tanah asal-usul pendatang di Belu yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka.
Khusus untuk para pendatang baru yang mendiami daerah Belu terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing-masing daerah berlainan.

Dari makoan Fatuaruin menyebutnya
Nekin Mataus (Likusen)
Suku Mataus (Sonbay)
Bara Mataus (Fatuaruin)

Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya
Loro Sankoe (Debuluk, Welakar)
Loro Banleo (Dirma, Sanleo)
Loro Sonbay (Dawan)

Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah
Wehali Nain
Wewiku Nain
Haitimuk Naik

flores timur
    Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan.
    Sedangkan dari semua pendatang di Belu itu pimpinan dipegang oleh Maromak Oan Liurai Nain di Belu bagian Selatan. Bahkan menurut para peneliti asing Maromak Oan kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (Insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Belu, maromak Oan memiliki perpanjangan tangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Fatuaruin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, Maubara, Biboki dan Insana. Maromak Oan sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.
Para pendatang di Belu tersebut, tidak membagi daerah Belu menjadi Selatan dan Utara sebagaimana yang terjadi sekarang.
       Menurut para sejarahwan, pembagian Belu menjadi Belu bagian selatan dan utara hanyalah merupakan strategi pemerintah jajahan Belanda untuk mempermudah sistem pengontrolan terhadap masyarakatnya.
Dalam keadaan pemerintahan adat tersebut muncullah siaran dari pemerintah raja-raja dengan apa yang disebutnya Zaman Keemasan Kerajaan. Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Belu). Di Dawan ada kerajaan Sonbay yang berkuasa di daerah Mutis. Daerah Dawan termasuk Miamafo dan Dubay sekitar 40.000 jiwa masyarakatnya.
      Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Sang Maromak Oan mengirim para pembantunya ke seluruh Belu sebagai Loro dan Liurai.

Tercatat nama-nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti :
Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain,
Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran.

Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti :
Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak.

      Selain itu, ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon. Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal dengan nama As Tanara membawahi Dasi Sanulu yang dikenal sampai sekarang ini yaitu Lasiolat, Asumanu, Lasaka, Dafala, Manukleten, Sobau, LIdak, Tohe Manumutin, dan Aitoon.
Dalam berbagai penuturan di utara maupun di selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain.
      Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah. (sumber: Bappeda Kabupaten Belu)

Sejarah Singkat Kabupaten Manggarai Barat


Jaman Pra-Sejarah
Berdasarkan penyelidikan para Arkeolog dan Ethnograf di Manggarai (termasuk Manggarai Barat) telah ditemukan beberapa jejak kehidupan purba, antara lain dapat dilihat dari pola perkampungan masyarakat purba dan penemuan fosil purba di beberapa tempat di Manggarai dan Manggarai Barat.
Pola perkampungan masyarakat purba Manggarai. Dalam perkampungan purba selalu ditemukan unsur zaman batu. Fenomena tehnologi purba, bagaimana orang zaman dahulu kala membangun mosaik hidup dan kehidupannya dengan unsur batu sebagai fondasi pola perkampungan, serta khusus untuk Compang yang dihayati sebagai mesbah persembahan. Dari konstruksi perkampungannya sendiri bisa dilihat, selain ‚’’Compang’’‚ ’’Natas’’, ’’Like’’ dan ’’Porong Telo’’ misalnya, dibangun dari susunan batu-batu sangat rapih. Bagian yang dibangun agak bertahap adalah bangunan Compang. Compang merupakan tempat sesajian kepada arwah yang pada umumnya terletak di tengah halaman kampung. Compang berbentuk bundar menyerupai meja persembahan, terbuat dari tumpukan batu. Pada umumnya di tengah Compang tumbuh dadap (kalo), namun dibeberapa tempat ditemukan pohon beringin (langke). Bangunan Compang pada saat ini dapat ditemukan di Compang Ruteng Pu’u, Compang Wae Rebo, Compang Cibal, Compang Mano dan Compang Pacar Pu’u dan masih ada dibeberapa tempat yang lain. Sebagian besar Compang terletak di wilayah Kabupaten Manggarai, hanya Compang Pacar Pu’u yang terletak di Kabupaten Manggarai Barat.
Binatang peninggalan zaman purba. Salah satu bukti prasejarah yang masih ada sampai sekarang di Manggarai Barat adalah satwa Komodo (Varanus komodoensis). Komodo merupakan kadal tertua yang masih hidup. Nenek moyang langsung dari komodo (Famili Varanidae) hidup pada 50 juta tahun yang lalu. Komodo barangkali sudah merupakan keturunan dari kadal yang lebih besar (Megalania presca) dari Jawa atau Australia yang hidup 30.000 tahun yang lalu. Komodo mungkin berasal dari Asia atau Australia. Sebuah teori mengatakan bahwa komodo berpindah dari Pulau Jawa ke Pulau Komodo. Teori lain mengatakan bahwa komodo berenang dari Australia ke Pulau Timor, selanjutnya berpindah dari pulau ke pulau hingga mencapai Flores. Kira-kira 18.000 tahun lalu tingkat permukaan air diperkirakan lebih rendah 85 meter dibandingkan sekarang. Karena bagian landai yang lebih dangkal dari pulau sering terpapar dan kering, maka komodo dapat dengan mudah berpindah dari Flores ke Rinca dan Komodo. Pada saat ini, Komodo dapat ditemui di Pulau Komodo, Pulau Rinca, Gili Motang, dan sebagian kecil di utara dan barat Pulau Flores.

Sejarah Pulau Flores
Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis “Copa de Flores” yang berarti “ Tanjung Bunga”. Nama ini diberikan oleh S.M.Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini secara resmi dipakai sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores sudah dipakai hampir empat abad. Lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau Ular.
Sejarah masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b). Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, etnis di Flores (Keraf, 1978; Fernandez, 1996) adalah sebagai berikut:
  • Etnis Manggarai – Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen);
  • Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio);
  • Etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang);
  • Etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah);
  • Etnis Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan).
Masyarakat Manggarai Barat merupakan bagian dari masyarakat Manggarai. Pada zaman reformasi, Manggarai mengalami perubahan, dengan melakukan pemekaran wilayah menjadi Manggarai dan Manggarai Barat. Perubahan ini terjadi pada tahun 2003. Pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga secara historis antara masyarakat Manggarai dan Manggarai Barat tidak dapat dipisahkan diantara keduanya.
Masyarakat Manggarai (termasuk  masyarakat Manggarai Barat) merupakan bagian dari enam kelompok  etnis di Pulau Flores seperti diuraikan di atas. Manggarai adalah bagian dari Manggarai-Riung. Dalam masyarakat tradisional Manggarai termasuk Manggarai Barat terdiri dari 38 kedaluan (hameente), yakni: Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Lelak, Wotong, Todo, Pongkir, Pocoleok, Sita, Torokgolo, Ronggakoe, Kepo, Manus, Rimu, Welak, Pacar, Reho, Bari, Pasat, Nggalak, Ruis, Reo, Cibal, Lambaleda, Congkar, Biting, Pota, Rembong, Rajong, Ngoo, Mburak, Kempo, Boleng, Matawae, Lo’o dan Bajo. Dari setiap kedaluan bersemi mitos atau kisah kuno mengenai asal usul leluhurnya dengan banyak kesamaan, yaitu bagaimana nenek moyangnya datang dari laut/seberang, bagaimana nenek moyangnya turun dari gunung, menyebar dan mengembangkan hidup dan kehidupan purbanya serta titisannya.

Manggarai (Termasuk Manggarai Barat) Sampai Abad XIX
Seperti daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat pengaruh pengembaraan dari
orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda dan sebagainya.

Cina
Pengaruh Cina cukup kuat dan merata di seluruh propinsi NTT. Di Manggarai, pengaruh Cina dibuktikan dengan ditemukannya barang-barang Cina seperti guci, cermin, perunggu, uang cina dan sebagainya. Pengaruh Cina dimulai sejak awal masehi. Dari benda-benda yang ditemukan di Warloka terdapat sejumlah benda antic dari Dinasti Sung dan Ming, dibuat antara tahun 960 sampai tahun 1644.

Jawa
Pengaruh Jawa terutama berlangsung pada masa Hindu. Di Timo, pada tahun 1225 telah ada utusan dari Jawa. Diberbagai daerah di NTT ditemukan mitos mengenai Madjapahit. Sedangkan di Manggarai, label Jawa jadi toponimi di beberapa tempat, seperti Benteng Jawa.
Bugis, Makasar, Bima.
Pengaruh Bugis, Makasar di NTT termasuk luas, di Flores, Solor, Lembata, Alor dan Pantar.
Kesultanan Goa.
Sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya menguasai Flores Barat bagian selatan, tetapi juga seluruh Manggarai. Mereka menyetorkan upeti / pajak ke Sultan Goa. Kesultanan Goa berjaya di Flores sekitar tahun 1613 –1640. Pengaruh Goa nampak diantaranya pada budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Dalam peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan.

Kesultanan Bima.
Pada tahun 1722, Sultan Goa dan Bima berunding. Hasil perundingan, daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul pertentangan antara Cibal dan Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot, yang dimenangkan Cibal. Pertentangan antara Cibal dan Todo, kemudian melahirkan Perang Weol I, Perang Weol II dan Perang Bea Loli (Wudi). Perang Weol Ikemenangan di pihak Cibal. Tetapi dalam perang Weol II dan Perang Bea Loli, Cibal mengalami kekalahan. Bima saat itu membantu Todo. Kenyataan ini mengkokohkan posisi Bima di Manggarai, hingga masuknya pengaruh ekspedisi Belanda pertama tahun 1850 dan ekspedisi kedua tahun 1890 dibawah pimpinan Meerburg. Ekspedisi yang terakhir pada tahun 1905 dibawah Pimpinan H.Christofel. Kehadiran Belanda di Manggarai, membuahkan perlawanan sengit antara Belanda dan rakyat Manggarai di bawah Pimpinan Guru Amenumpang yang bergelar Motang Rua tahun 1907 dan 1908. Namun sebelum menghadapi perlawanan Motang Rua, Belanda mendapat perlawanan dari Kraeng Tampong yang akhirnya tewas ditembak Belanda dan dikuburkan di Compang Mano.

Selain Kesultanan Goa dan Bima,
Kerajaan lain yang pernah berkuasa di Manggarai adalah Kerajaan Cibal, Kerajaan Lambaleda, Kerajaan Todo, Kerajaan Tana Dena dan Kerajaan Bajo. Pada saat ini bukti serajah tentang kerajaan tersebut yang masih tersisa adalah Kerajaan Todo, walaupun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Referensi tentang penelusuran tentang kerajaan-kerajaan Manggarai sulit untuk didapatkan.

Belanda
Pengaruh Belanda ada sejak adanya 3 kali ekspedisi Belanda ke Manggarai, yaitu tahun 1850,1890, dan tahun 1905. Pengaruh Belanda di Manggarai terutama pada didirikannya sekolah-sekolah dan agama Katolik.

Penyebaran agama Islam
Pada abad ke-16, Belanda berekspansi ke Flores Barat untuk menguasai Manggarai. Penguasaan Manggarai tidak dilakukan secara langsung oleh Belanda, tetapi melalui Kerajaan Goa yang berkedudukan di Makasar. Jadi, Manggarai di bawah kekuasaan Kerajaan Goa. Saat itu orang orang Sulawesi memang telah memeluk agama Islam. Kehadiran Kerajaan Goa di Manggarai tidak menyebarkan agama. Kerajaan Goa hanya menjalankan pemerintahan yang digariskan Belanda. Meski demikian, secara kultural, simbol-simbol islamik dan doa-doa tradisional, khususnya, banyak dipengaruhi tradisi islamik Goa dan Bima. Ada beberapa istilah yang sama antara orang Sulawesi, Bima, dan Manggarai, atau kemungkinan istilah itu berasal dari bahasa Makasar-Bugis, seperti kraeng sebagai gelar bangsawan di wilayah Kerajaan Goa. Istilah itu digunakan pula untuk gelar bangsawan di Manggarai sampai sekarang. Mori, sengaji yang berarti Tuhan dalam bahasa Goa, juga mengandung arti yang sama di Manggarai. Kata kreba (kabar), rodong (sejenis kerudung yang hanya dipakai wanita), sa dako (sedikit atau segenggam), sebuah istilah yang biasa merujuk pada perilaku adil terhadap sesama. Selain itu, dikenal pula simbol-simbol dalam cara berpakaian. Orang Manggarai, terutama kaum pria, hanya merasa sah atau percaya diri, jika ia mengenakan peci hitam. Peci dan sarung sebagai pakaian resmi yang biasa digunakan dalam penampilanpesta atau acara ritual, termasuk mengikuti ritual misa di gereja. Cara berpakaian dan jenis pakaian seperti menjadi lambang kemanggaraian. Dari ciri kultural tersebut, orang Manggarai lebih dekat dengan Sape dan Bima di Nusa Tenggara Barat ketimbang suku bangsa Ngada, atau Ende, atau suku bangsa lain di Flores. Ditemukan pula gejala parabahasa untuk berdoa secara islamik.

Penyebaran agama Katholik Roma
Kristianitas, khususnya Katholik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat Kota Larantuka. Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores (termasuk ke daerah Manggarai dan Manggarai Barat) dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katholik. Penyebaran ini banyak dilakukan melalui peningkatan pendidikan masyarakat.
Gereja di Biara Ursulin, Stella Maris,
Labuan Bajo 



Peta Kabupaten Manggari Barat

GBU 
                                              Sumber :  http://www.manggaraibaratkab.go.id/

KOmentar FACEBOOK